Revolusi Di Nusa Damai

Review ini merupakan re-post review yang pernah saya buat dan saya tayangkan di blog ini.

Berhubung para Blogger Buku Indonesia (BBI) saat ini sedang menggelar posting bareng Historical Fiction, dan hingga review ini ditayangkan belum ada satupun yang memposting review His Fic yang bernuansa lokal, maka saya pilih review lama saya ini untuk ditayangkan dalam Posting Bareng Historical Fiction.







Judul : Revolusi Di Nusa Damai

Penulis : K’tut Tantri

Penerjemah : Agus Setiadi

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan : II, Agustus 2006

Tebal : 368 hlm ; 23 cm








“Saya
berusaha memaparkan cita-cita bangsa Indonesia pada seluruh rakyat di
dunia – yaitu kemerdekaan, hak untuk membangun negara sendiri. Saya juga
ingin menandaskan pada Belanda – dan sedikit banyak juga pada Inggris –
mengenai kesalahan besar yang mereka lakukan selama ini.” (hal 242)



Kalimat
itu diucapkan oleh K’tut Tantri kepada para wartawan dari dalam dan
luar negeri yang mewawancarinya perihal keterlibatannya dalam
menyebarluaskan kemerdekaan Indonesia melalui corong Radio Pemberontak.



K’tut
Tantri adalah nama lain dari seorang wanita warga negara Amerika
keturunan Inggris yang pernah tinggal lima belas tahun di Indonesia dari
1932-1947. Awalnya K’tut Tantri yang hobi melukis ini tak puas dengan
pekerjaannya sebagai seorang jurnalis di Amerika Serikat. Ia memiliki
jiwa petualang yang membuatnya selalu ingin berkelana ke tempat-tempat
jauh sambil melukis apa yang dilihatnya. Keinginannya semakin membuncah
ketika ia menonton film berjudul Bali, The Lost Paradise. Seolah
menemukan jalan hidupnya ia segera menuju Bali dan memutuskan untuk
menetap disana.



Takdir membawanya bertemu dengan Raja
Bali yang mengangkatnya menjadi anak keempat dan memberinya nama baru
‘K’tut Tantri’. Perilaku masyarakat Bali membuat dirinya kerasanan untuk
tetap tinggal disana, iapun membangun sebuah hotel di Kuta untuk
membiayai hidupnya, bukan hal yang mudah karena pemerintahan kolonial
Belanda tak menyukai dirinya bergaul rapat dengan penduduk setempat. Ia
juga melihat bagaimana penduduk Bali harus hidup dalam kemiskinan akibat
sistem kolonial yang mengabaikan kesejahteraan tanah jajahannya. Anak
Agung Nura, putera Raja Bali menggerakkan hatinya untuk turut dalam
kancah politik guna menentang pemerintahan Belanda.



Di
zaman pendudukan Jepang, K’tut Tantri ikut dalam gerakan bawah tanah
guna menumbangkan kekuasaan Jepang. Malang nasibnya karena ia ketahuan
oleh Kampetai dan dipenjara selama kurang lebih dua tahun, disiksa dan
dianiyaya melebihi atas-batas peri kemanusiaan.



Setelah
Proklamasi Kemerdekaan, ia turut berjuang bersama-sama Bung Tomo dalam
menyuarakan kemerdekaan indonesia di Radio Pemerontak –Surabaya.
Kemudian bekerja untuk Kementerian Penerangan dan Pertahanan di Jogya.
Tugasnya antara lain menyebarluaskan informasi keadaan Indonesia dalam
bahasa Inggris dalam pidato radio, menembus blokade Belanda menuju
Singapura, menyeludupkan utusan Liga Arab masuk Indonesia dan akhirnya
menuju Australia guna mencari dukungan internasional.



Seluruh
kisah kehidupannya diatas itulah yang ia tuangkan dalam novel
dokumenternya Revolt in Paradise yang pertama kali diterbitkan oleh New
York Harper, USA pada tahun 1960. Dalam bukunya ini K’tut Tantri membagi
kisahnya dalam tiga bagian besar yang meliputi periode 1932-1941
(Melanglang Buana), 1942-1945 (Firdaus Yang Hilang), dan 1945-1948
(Berjuang demi Kemerdekaan).



Di bagian pertama (Melanglang Buana) pembaca akan diajak melihat keeksotisan natural penduduk Bali yang terekam dengan baik, ketika
ia untuk pertama kalinya menyusuri Bali dengan mobilnya ia melihat
bahwa; Di sepanjang jalan maupun di sawah, para wanita dengan polos
memperagakan payudara yang sintal sementara mereka berjalan beriringan
sat-satu sambil menjunjung beban yang tidak kecil ukurannya di atas
kepala (hal 25)




Sedangkan kehidupan dalam puri
raja anak Agung Gede Agung beserta kegiatannya juga terekam dengan
menarik dalam buku ini. Tak hanya itu dalam buku inipun pembaca akan
mendapat gambaran mengenai pandangan pemerintahan kolonial terhadap
masyarakat Bali, hal ini terungkap dalam percakapan seorang asisten
kontrolir Belanda pada K’tut Tantri menanggapi keinginan K’tut Tantri
untuk tinggal bersama masyarakat Bali.





“Jika
Anda mencoba hendak hidup seperti orang Bali, pengaruhnya akan buruk
sekali terhadap pribumi dan hormat mereka terhadap orang kulit putih.
Percayalah pemerintah kolonial pasti 


tidak suka. (hal 31)



Berbagai
cerita menarik terungkap di bagian ini, selain pesona keindahan budaya
Bali bagian ini juga mengungkap sepak terjang K’tut Tantri ketika ia
berusaha untuk mewujudkan impiannya dengan mendirikan hotel di daerah
Kuta Bali walau hal ini tidak mudah karena ditentang dengan keras oleh
pemerintah Belanda.



Di bagian kedua (Firdaus Yang
Hilang) pesona dan keindahan alam Bali tak lagi terceritakan, dimulai
dengan kisah masuknya Jepang ke pulau Bali, dibagian ini pembaca akan
disuguhkan dengan kisah tragis yang dialami oleh K’tut Tantri selama ia
berada dalam tawanan Jepang di Surabaya. Penjara yang kotor dan siksaan
yang diluar perikemanusiaan harus dialaminya karena ia dituduh sebagai
mata-mata Amerika. Meringkuk dalam penjara pun bukan main menderitanya
karena sepanjang hari, dari pukul enam hingga pukul sembilan malam para
tawanan tidak diizinkan untuk duduk, melainkan harus berlutut, tak
peduli betapa nyerinya otot-otot mereka. (hal 160). Belum lagi
siksaan-siksaan keji saat interogasi dimana K’tut Tantri harus
ditelanjangi, diikat, dipukul dan digantung hingga sendi-sendinya hampir
putus hingga beberapa kali jatuh pingsan.



Pada bagian
ketiga (Berjuang demi Kemerdekaan), kisah dalam buku ini semakin menarik
dan menegangkan karena selepas dari tawanan Jepang K’tut Tantri
bergabung dengan para pejuang kemerdekaan di bawah pimpinan Bung Tomo.
Ia bertugas meyampaikan perkembangan yang terjadi di Indonesia dalam
bahasa Inggris melalui siaran Radio Pemberontak dimana di tempat ini
juga Bung Tomo mengadakan siaran dua kali setiap malam untuk membakar
semangat pejuang-pejuangnya. Kesannya ketika bertemu dengan Bung Tomo
terungkap sbb :





Orangnya tampan,
bertubuh kecil. Umurnya saat itu paling banyak baru 26 tahun.
Tindak-tanduknya menarik, selalu sederhana serta polos. Sinar matanya
berkilat-kilat penuh semangat. Kemahirannya berpidato hanya bisa
dikalahkan oleh Presiden Sukarno. (hal 223)



Selain
dengan Bung Tomo, bagian ini mengisahkan pula pertemuan dan
persahabatannya dengan tokoh-tokoh kemerdekaan Indonesia, antara lain
Amir Syarifudin, dan Presiden Soekarno. Bahkan ia sempat diminta untuk
membuat naskah pidato radio bahasa Inggris yang akan dibacakan oleh
Presiden Soekarno. Kesan terhadap pertemuannya dengan Presiden Soekarno
membuat Kut Tantri menulis dalam buku ini bahwa Presiden Soekarno adalah
sosok yang pandai mengambil hati wanita, memiliki selera humor yang
tinggi, rendah hati dan amat mencintai ibunya (hal 245)



Hal
menarik lainnya adalah bagaimana serunya ketika K’tut Tantri berusaha
membongkar usaha sebuah komplotan untuk menjatuhkan Bung Karno, atau
ketika ia menerima tugas untuk berangkat menuju Australia guna mencari
dukungan internasional. Selain diajak merasakan ketegangan yang
dialaminya berbagai kisah-kisah menarik juga tersaji dalam bagian ini,
seperti ketika ia dibuatkan paspor Indonesia dengan nomor urut 1 yang
berarti merupakan paspor pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah
Indonesia. Pengalamannya bertemu dengan orang-orang Indonesia di
Singapura sebelum berangkat menuju Australia juga terungkap di bagian
ini. Salah satu yang menarik sekaligus ironis mungkin pengalamannya
menemui kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh pedagang-pedagang asal
Indonesia, hal ini membuat hatinya pedih karena sementara para koruptor
asal indonesia hidup dalam kemewahan, ribuan rakyat jelata di Indonesia,
yang bertempur dengan pakaian compang-camping, berjuang penuh lumpur
dengan bersenjatakan golok dan bambu runcing untuk mempertahankan
kemerdekaan (hal 328).



Kisah K’tut Tantri dalam buku
ini berakhir ketika ia kembali ke New York, Amerika Serikat, ia berada
di negaranya sendiri, namun hatinya merasa hampa dan rindu pada
Indonesia yang merupakan tanah air keduanya. Kerinduan dan rasa cintanya
pada Indonesia inilah yang menggerakkan dirinya untuk membuat memoar
yang kemudian diterbitkan dengan berjudul Revolt in Paradise (1965). Tak
disangka buku ini mendapat respon yang baik dari pembacanya baik di
negaranya maupun di dunia internasional, sedikitnya buku ini telah
diterjemahkan lebih dari 15 bahasa dunia.



Di tahun
60-an, K’ut Tantri mengunjungi Indonesia dan diterima oleh para pejabat
pemerintahan termasuk oleh Presiden RI Soekarno. Di tahun 1965 buku
Revolt in Paradise untuk pertama kalinya diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, dan diterbitkan oleh Penerbit Gunung Agung dengan
judul Revolusi di Nusa Damai. Rupanya cetakan pertama buku ini mendapat
sambutan yang baik, terbukti hanya dalam waktu 6 bulan.buku ini dicetak
ulang. Tahun 1982 hak cipta buku ini diambil alih oleh Gramedia dan
dicetak dalam dua versi bahasa (Inggris dan Indonesia). Dan kini buku
tersebut kembali dicetak ulang dengan kemasan baru dengan cover yang
menggambarkan wanita kulit putih yang menggenakan pakaian tadisional
Bali.

















Buku yang kembali diterbitkan ulang oleh Gramedia
ini memang sudah seharusnya hadir dan dibaca oleh masyarakat Indonesia
mengingat nama K’tut Tantri kini telah dilupakan orang. Yang agak
disayangkan adalah tidak adanya foto K’tut Tantri dalam buku ini.
Tentunya karena buku ini bukan sekedar kisah fiksi dan K’tut Tantri bisa
dikatakan sebagai salah satu pelaku sejarah di masa-masa revolusi
kemerdekaan Indonesia, pemuatan foto K’tut Tantri tentunya akan memberi
bobot sejarah yang lebih dalam pada buku ini. Tentunya bukan hal yang
sulit untuk memperoleh foto diri K’tut Tantri, apalagi jika kita melihat
cetakan tahun 1965, di buku tersebut disajikan beberapa buah foto K’tut Tanri termasuk ketika ia diterima oleh Presiden Soekarno di tahun 60-an.









Sejumlah
kesalahan ketik ditemui dalam buku ini. Tidak terlalu mengganggu namun
menimbulkan kejanggalan karena biasanya buku-buku terbitan Gramedia
‘bersih’ dari kesalahan-kesalahan ketik.



Namun sekali
lagi usaha penerbit untuk menerbitkan ulang buku ini patut dihargai
setinggi-tingginya. Setidaknya, kini nama K’tut Tantri, salah seorang
Indonesianis yang terlupakan, yang telah banyak berjasa dalam
menyuarakan kemerdekaan indonesia bisa kembali dikenang oleh rakyat
Indonesia yang pernah diperjuangkannya.



K’tut Tantri,
yang juga dikenal dengan julukan ‘Soerabaja Sue’ meninggal dunia di
usianya yang ke 89 di Sydney Australia pada tahun 1997. Kecintaannya
pada Indonesia dibawanya hingga mati. Peti matinya ditutup bendera Merah
Putih berhias warna khas Bali. Jasadnya dikremasi di Bali dan abunya
ditebar disana.




Mungkin
saja orang Indonesia akan melupakan diriku apabila negara itu sudah
benar-benar merdeka. Kenapa tidak? Aku kan hanya ombak kecil di tengah
alun banjir semangat kemerdekaan. (K’tut Tantri, hal 355)








(K'tut Tantri saat diwawancarai oleh sejumlah media)



@htanzil

Post a Comment

Previous Post Next Post
🎓 Ingin Lanjutkan Pendidikan?

Dapatkan pendidikan kesetaraan Paket B & C dengan metode fleksibel dan berbasis digital. Ayo, wujudkan masa depan cerahmu bersama kami!