Post Kolonial & Wisata Sejarah dalam sajak - Membaca Sejarah yang dipuisikan





[No. 299]

Judul : Post Kolonial & Wisata Sejarah dalam sajak.

Penulis : Zeffry Alkatiri

Penerbit : Padasan

Cetakan : I, 2012

Tebal : 192 hlm



Kita sering membaca sejarah ditulis dalam bentuk buku teks atau difiksikan dalam bentuk novel, namun sejarah yang ditulis, diinterpretasikan, dan dibukukan dalam bentuk puisi rasanya baru kali ini kita menemukannya dalam buku "Post Kolonial  Wisata Sejarah dalam Sajak" karya Zeffry Alkatiri, penyair, pengamat sejarah yang juga pengajar dan peneliti di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI.



Dalam buku kumpulan puisinya ini  Zeffry menafsirkan sejarah dalam bentuk puisi/sajak dalam kalimat-kalimat yang lugas, tanpa kiasan-kiasan atau metafora-metafora yang kadang membingungkan pembacanya. Semua puisinya ditulis dalam bentuk sajak realis sarat dengan kritik sosial yang langsung mengena hati dan pikiran pembacanya.



Sebagai contoh mari kita lihat sajak berjudul Smakelijk Eten, Meneer! yang menggambarkan bagaimana posisi para meneer Belanda dan ungkapan kekesalan jongos pribumi yang melayani mereka di masa kolonial dulu.



"Smakelijk eten, Menner!"

Diucapkan oleh para jongos berseragam tanpa sepatu

Yang antre menyediakan Risjsttafel dalam nampan-nampan

Kepada para Dewa dan Dewi kemakmuran

Yang mulutnya seperti gua

Yang tak pernah selesai menelan segala.



"Makanlah apa yang tuan mau"

Kami akan sediakan.

Kami akan sediakan,

Smakelijk eten, Meneer!"



Cuah!!



(2010)



Buku ini memuat 117 sajak yang terbagi dalam dua bagian besar yang mengikuti periode historis sejarah Indonesia dan dunia, bagian pertama terdiri dari 21 puisi dengan tema nusantara sejak kedatangan pengembara asing yang pertama hingga keadaan Indonesia di masa kolonialisme dan setelahnya . Bagian kedua terdiri dari 96 puisi yang diberi nama Wisata Sejarah yang merupakan tafsiran penulis dari penggalan sejarah bangsa-bangsa di dunia.



Di bagian pertama puisi yang menurut saya paling menarik adalah puisi berjudul "Kami Hanya Menonton: Pengakuan si Midun, si Amat, dan si Inah (Dari Buyut sampai Cucu). Puisi  ini merupakan puisi yang terpanjang dalam buku ini, tersaji  dalam 104 stanzah, 28 halaman, dalam cakupan periode historis sejak jaman kolonial Belanda hingga masa kini. Puisi ini  merekam keadaan sejarah dan kondisi sosial Indonesia dari masa ke masa. Berikut saya cuplikkan beberapa stanzah secara acak (bukan dalam urutan aslinya) dalam puisi ini yang mewakili beberapa periode waktu.



Kami sering menonton:

Ketika para nyonya dan noni

Membeli roti dan kue-kue

Di toko Van Otten dan Borgerij

Kalau sudah begitu 

Kami hanya bisa membayangkan 

Kue tampah murah Mpok Minah



......



Kami menonton 

Orang Belanda dan Indo 

Dikerangkeng seperi di kebon binatang

Kami melihat : tubuh mereka kurus dan kumal

Tak bedanya dengan kami yang berada di luar.



.......
 



Kami menonton:

Banyaknya orang antre beras dan minyak 

Di wilayah kampung kami setiap hari

Kami melihat :

Banyak perempuan muda tak mampu

Membeli jepitan rambut paling murah sekalipun



Dan kami juga menonton:

Mulai banyak  orang tidur di kolong jembatan,

Di tempat pembuangan sampah, dan di emperan jalan.

Sementara kami menonton:

Presiden kami kawin lagi.



....



Kami menyaksikan :

Generasi baru kami hanya mengenal

Para pahlawan dari beberapa negeri asing

Yang mempunyai nomor dan nama

Di punggung mereka



 .....



Kami menonton :

Iring-Iringan mobil presiden hampir setiap hari di Jakarta

Kalau sudah begitu:

Kami harus menunggu lama karenanya.

Bahkan pernah ada seorang ibu yang terpaksa harus melahirkan di jalan.

Sementara presiden, wakil presidan dan para istrinya senyam senyum saja

Melihat jalanan yang dirasakan lenggang olehnya. 



 ....

 

Ada banyak sekali puisi-puisi menarik dalam buku ini. Bagian pertama dengan mudah kita dapat memahaminya karena pada umumnya kita mengetahui sejarah bangsa kita sendiri, namun di bagian kedua (Wisata Sejarah) dimana berisi puisi-puisi tentang sejarah bangsa-bangsa di dunia walau ditulis dalam puisi yang relaitf pendek-pendek (hanya dalam beberapa baris saja)  namun bagi kita yang tidak memahami latar sejarah dunia yang memadai rasanya akan sulit untuk menangkap isi dari puisi-pusi di bagian kedua buku ini.



Buku ini saya rasa baik untuk dibaca siapa saja yang ingin mengetahui sejarah lewat puisi yang realis, terlebih bagi mereka yang suka sejarah. Buku ini  menawarkan kebaharuan dalam membaca dan menginterpretasi sejarah plus kritik-kritik sosialnya dalam dalam bentuk puisi. Mona Lohanda dalam kata penutupnya mengatakan bahwa lewat puisi-puisi dalam buku ini "Kita diajak untuk menjadi bijaksana, belajar dari sejarah, belajar menjadi bangsa yang berdikari-mandiri dan berbangga diri"





Buku ini juga dipilih oleh dewan juri Khatulistiwa Litrary Award (KLA) 2012 sebagai pemenang kategori puisi. Dalam laporan pertanggung jawabannya dewan juri berpendapat bahwa :





Ia menghadirkan semacam
kritik atas kritik, dengan mengajukan banyak pertanyaan terhadap kenyataan yang dianggap mapan. Sebuah
intervensi yang khas sastra terhadap upaya menghadirkan sejarah yang lurus
dengan pikiran yang logis. 




Satu hal yang menjadi catatan juri KLA 2012 atas buku ini adalah soal judulnya yang tidak mencerminkan sebuah buku puisi :



 Satu-satunya masalah dengan
kumpulan ini yang dirasakan juri adalah judulnya, yang bisa membuat orang salah
mengira sedang berhadapan dengan sebuah tesis ilmiah, dan juga berpotensi
mematahkan gairah membaca




  

@htanzil








Post a Comment

Previous Post Next Post
🎓 Ingin Lanjutkan Pendidikan?

Dapatkan pendidikan kesetaraan Paket B & C dengan metode fleksibel dan berbasis digital. Ayo, wujudkan masa depan cerahmu bersama kami!