pengaruh media tanah arang organik terhadap pertumbuhan tanaman jahe



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Jahe berasal dari Asia Pasifik yg tersebar dari India sampai Cina. Oleh karena itu kedua bangsa ini disebut-sebut sebagai bangsa yg pertama kali memanfaatkan jahe terutama sebagai bahan minuman, bumbu masak dan obat-obatan tradisional. Adapun manfaat secara pharmakologi antara lain adalah sebagai karminatif (peluruh kembung), anti muntah, pereda kejang, anti pengerasan pembuluh darah, peluruh keringat, anti inflamasi, anti mikroba & parasit, anti piretik, anti rematik, serta merangsang pengeluaran getah lambung & getah empedu.
Selama ini pengelolaan sampah organik  sebagai pupuk untuk berbagai tanaman sudah sangat dikenal masyrakat luas. Pengolahan sampah organik yang paling mudah adalah dengan membakarnya hingga menjadi arang dan abu. Arang dan abu kemudian dipakai masyarakat untuk memupuk berbagai tanaman salah satunya adalah tanaman jahe.  Masyarakat umumnya percaya arang dari sampah organik dapat membatu pertumbuhan tanaman. Hal ini yang menarik bagi penulis untuk melakukan penelitian tentang pengaruh media tanah arang organik terhadap pertumbuhan tanaman jahe.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana pengaruh tanah  organik terhadap pertumbuhan tanaman jahe (Zingiber officinale)?
2.    Bagaimana pengaruh tanah biasa terhadap pertumbuhan tanaman jahe (Zingiber officinale)?

1.3  Tujuan Penelitian
            Berdasarkan rumusan masalah diatas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
1.    Menjelaskan pengaruh tanah abu organik terhadap pertumbuhan tanaman jahe (Zingiber officinale) .
2.    Mengetahui pengaruh tanah biasa terhadap pertumbuhan tanaman jahe (Zingiber officinale ).

1.4  Metode Penelitian
Metode yang digunakan oleh peneliti adalah metode  perbandingan eksperimen. Metode perbandingan eksperimen adalah cara penyajian pelajaran dimana siswa melakukan percobaan dengan mengalami dan membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajari. Siswa dituntut untuk mengalami sendiri, mencari kebenaran.













BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Karaktristik
Tanah sebagai salah satu indikator terpenting dalam fungsinya secara epidologi yaitu tempat tumbuh dan berkembangnya tanaman. Memiliki fungsi yang beragam dalam menyediakan bahan alam yang dibutuhkan oleh tanaman antara lain yang kita ketahui seperti air, hara, dan udara. Mineral-mineral yang berada dalam tanah juga berpengaruh terhadap tersedianya unsur hara bagi tanaman.  Media tanam sebagai asumsi awal yang telah kita pelajari sebelumnya yaitu tanah. Tanah secara harafiah dapat kita ketehaui defenisinya yakni bahan alam yang terdapat pada lapisan terluar bumi akibat adanya bahan induk penyusunya serta mineral yang terdekomposisi secara berkala dan berpireode melekat menjadi satu kesatuan, biasa kita kenal sebagai bahan organik tanah. Ciri umun bahan organik sebagai salah satu fungsinya menyuburkan tanah yaitu mengandung mineral –mineral basa dan asam yang jumlahnya sesuai dengan yang dibutuhkan tanaman. Mineral tersebut dapat berupa unsur bebas baik bersifat asam (Cl, F, Br, dll ) maupun  bersifat basa ( N, P, K, dll ) selain itu juga senyawa elektrolit seperti air. Sifat tanah sendiri juga berpengaruh terhadap fungsi tanah sebagai media tanam mulai dari sifat fisika baik tekstur, struktur,konsistensi dan masih banyak lagi sifat fisik yang lain dapat menentukan tanah tersebut baik atau tidak sebagai media tanam, sifat bilogi dilihat dari kegiatan fauna tanah yang berukuran makro, mikro dan meso didalam tanah berfungsi mengolah unsur hara tanah, sifat kimia berhubungan erat dengan Ph atau tingkat keasaman dan kebasaan tanah dan KTK (kapasitas tukar kation) atau kemampuan tanah dalam menjerap ion ion (hara) dalam tanah.
Tanah diolah sedemikian rupa juga dimaksudkan untuk memaksimalkan fungsinya untuk tumbuh dan berkembang tanaman, karena tanah memiliki dua spesifikasi umum yang kita ketahui yaitu tanah basah dan kering, tanah basah digunakan untuk tanaman seperti padi (kebutuhan akan air tinggi) dan kering digunakan untuk tanaman seperti jagung dan sejenis palawija. Untuk pengolahan tanah sendiri yang kita ketahui juga ada dua yaitu secara tradisional dan modern, tradisional masih menggunakan tenaga kasar manusia dan ternak dan secara modern kita kenal dengan mesin traktor dan mesin pengolah tanah lainya.
Selain tanah sebagai media tanam yang digunakan, sekarang ini juga telah ditemukan media tanam baru yaitu hidroponik. Cara tanam hidroponik sendiri juga memiliki keunggulan yaitu meminimalkan penggunaan lahan namun dengan konsekuensinya yaitu mengoptimalkan sifat tanah dlam media air, maksudnya dibuat atau diatur sedemikian rupa agar kondisi air yang digunakan sebagai media tanam juga memiliki sifat yang sama seperti tanah pada umunya seperti unsur hara, dan ketersediaan oksigen dalam air. Semua itu menjadi dasar bagaimana kita menyikapi cara penggunaan tanah dan air sebagai indikator media tanam dari tanaman.
Tanah adalah lapisan atas bumi yang merupakan campuran dari pelapukan batuan dan jasad makhluk hidup yang telah mati dan membusuk.  Oleh pengaruh cuaca, jasad makhluk hidup tadi menjadi lapuk, mineral-mineralnya terurai (terlepas), dan kemudian membentuk tanah yang subur. Tanah juga disebut lithosfer (lith = batuan) karena dibentuk dari hasil pelapukan batuan.
Tanah merupakan unsur kehidupan yang paling penting. Tanpa tanah, tentu kita tak ada tempat berpijak. Tanah memiliki banyak jenis karena perbedaan proses pembentukan dan unsur yang terdapat di dalamnya juga berbeda. Berikut jenis-jenis tanah yang ada di Indonesia.
1.    Tanah Regosol
Sama seperti andosol, tanah regosol berasal dari material gunung berasi tetapi bentuknya lebih kasar. Tanah regosol bersifat subur sehingga sangat cocok untuk digunakan sebagai lahan pertanian khususnya palawija, sayuran, dan padi. Umumnya tanah regosol berada didaerah-daerah yang memiliki gunung api seperti di Sumatera, Jawa, Bali dan juga Nusa Tenggara.
2.  Tanah Aluvial
Tanah aluvial disebut juga dengan tanah endapan karena tanah ini dihasilakan dari proses pengendapan didaerah dataran rendah. Tanah jenis ini tergolong subur karena mengandung banyak mineral yang berasal dari gunung api. Pada umumnya digunakan masyarakat untuk lahan pertanian seperti di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan juga Kepulauan Maluku.
3.  Tanah Humus
Humus merupakan salah satu jenis tanah organosol yang didapat dari proses pelapukan (pembusukan) bahan-bahan organik seperti tumbuh-tumbuhan. Tanah ini sangat mudah dikenali karena sifatnya yang mudah basah dan warnanya yang kehitaman. Humus merupakan jenis tanah yang subur karena mengandung unsur-unsur organik yang baik bagi pertumbuhan tanaman.

4.      Tanah Gambut
Jenis-jenis tanah lainnya yang ada di Indonesia adalah tanah Gambut. Sama halnya dengan tanah humus, tanah ini termasuk kedalam golongan tanah organosol yang diperoleh dari pembusukan bahan-bahan organik. Hal yang membedakan adalah tanah gambut ini dihasilkan dari pembusukan tumbuhan (bahan-bahan organik) yang berada disekitar rawa-rawa.
5.      Tanah Pasir
Jenis-jenis tanah lainnya yang bisa ditemukan di Indonesia adalah tanah pasir. Tanah jenis ini umumnya bisa dijumpai didaerah-daerah pesisir atau daerah-daerah yang berdekatan dengan pantai seperti di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Tanah jenis ini termasuk tanah yang tidak subur karena memiliki unsur hara yang sedikit sehingga tidak mungkin dijadikan tanah untuk pertanian.
6.  Tanah Padas.             
Tanah padas adalah salah satu jenis tanah yang ada di Indonesia ini. Tanah ini adalah tanah yang padat karena mineral yang ada didalamnya telah dikeluarkan oleh air. Tanah ini tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia. Tanah ini adalah jenis tanah yang tidak subur dan umumnya masyarakat memanfaatkannya untuk membuat kerajinan dan bahan bangunan.
2.2 Abu Organik
Abu merupakan residu anorganik yang didapat dengan cara mengabukan komponen-komponen organik dalam bahan pangan. Jumlah dan komposisi abu dalam mineral tergantung pada jenis bahan pangan serta metode analisis yang digunakan. Abu dan mineral dalam bahan pangan umumnya berasal dari bahan pangan itu sendiri (indigenous). Tetapi ada beberapa mineral yang ditambahkan ke dalam bahan pangan, secara disengaja maupun tidak disengaja. Abu dalam bahan pangan dibedakan menjadi abu total, abu terlarut dan abu tak larut. (Puspitasari, et.al, 1991)
Analisis gravimetrik merupakan bagian analisis kuantitatif untuk menentukan jumlah zat berdasarkan pada penimbangan dari hasil reaksi setelah bahan/analit yang dihasilkan diperlakukan terhadap pereaksi tertentu. (Widodo, 2010)
Kadar abu suatu bahan ditetapkan pula secara gravimetri. Penentuan kadar abu merupakan cara pendugaan kandungan mineral bahan pangan secara kasar. Bobot abu yang diperoleh sebagai perbedaan bobot cawan berisi abu dan cawan kosong.  Apabila suatu sampel di dalam cawan abu porselen dipanaskan pada suhu tinggi sekitar 650°C akan menjadi abu berwarna putih. Ternyata di dalam abu tersebut dijumpai garam-garam atau oksida-oksida dari K, P, Na, Mg, Ca, Fe, Mn, dan Cu, disamping itu terdapat dalam kadar yang sangat kecil seperti Al, Ba, Sr, Pb, Li, Ag, Ti, As, dan lain-lain. Besarnya kadar abu dalam daging ikan umumnya berkisar antara 1 hingga 1,5 %. (Yunizal, et.al, 1998)
Kadar abu/mineral merupakan bagian berat mineral dari bahan yang didasarkan atas berat keringnya. Abu yaitu zat organik yang tidak menguap, sisa dari proses pembakaran atau hasil oksidasi. Penentuan kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan.
Mineral yang terdapat dalam pangan terdiri dari 2 jenis garam, yaitu:
1.    Garam-garam organik, misalnya garam dari as. malat, oxalate, asetat, pektat dan lain-lain
2.    Garam-garam anorganik, misalnya phospat, carbonat, chloride, sulfat nitrat dan logam alkali. (Anonim, 2011)
Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang mineral dapat terbentuk sebagai senyawa yang kompleks yang bersifat organis. Apabila akan ditentukan jumlah mineralnya dalam bentuk aslinya adalah sangat sulit.
Menurut Winarno (1991), kadar abu yang yang terukur merupakan bahan-bahan anorganik yang tidak terbakar dalam proses pengabuan, sedangkan bahan-bahan organik terbakar.
Untuk menentukan kandungan mineral pada bahan makanan, bahan harus dihancurkan/didestruksi terlebih dahulu. Cara yang biasa dilakukan yaitu pengabuan kering (dry ashing) atau pengabuan langsung dan pengabuan basah (wet digestion). Pemilihan cara tersebut tergantung pada sifat zat organik dalam bahan, sifat zat anorganik yang ada di dalam bahan, mineral yang akan dianalisa serta sensitivitas cara yang digunakan. (Apriyantono, et.al, 1989).
Prinsip dari pengabuan cara langsung yaitu dengan mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500 – 600 oC dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut. (Sudarmadji, 1996)Pengabuan dilakukan melalui 2 tahap yaitu :
1.   Pemanasan pada suhu 300oC yang dilakukan dengan maksud untuk dapat melindungi kandungan bahan yang bersifat volatil dan bahan berlemak hingga kandungan asam hilang. Pemanasan dilakukan sampai asap habis.
2.   Pemanasan pada suhu 800oC yang dilakukan agar perubahan suhu pada bahan maupun porselin tidak secara tiba-tiba agar tidak memecahkan krus yang mudah pecah pada perubahan suhu yang tiba-tiba. 
Pengabuan kering dapat diterapkan pada hampir semua analisa mineral, kecuali mercuri dan arsen. Pengabuan kering dapat dilakukan untuk menganalisa kandungan Ca, P, dan Fe akan tetapi kehilangan K dapat terjadi apabila suhu yang digunakan terlalu tinggi. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi juga akan menyebabkan beberapa mineral menjadi tidak larut.
Beberapa kelemahan maupun kelebihan yang terdapat pada pengabuan dengan cara lansung. Beberapa kelebihan dari cara langsung, antara lain : 
a.    Digunakan untuk penentuan kadar abu total bahan makanan dan bahan hasil pertanian, serta digunakan untuk sample yang relatif banyak,
b.    Digunakan untuk menganalisa abu yang larut dan tidak larut dalam air, serta abu yang tidak larut dalam asam, dan 
c.    Tanpa menggunakan regensia sehingga biaya lebih murah dan tidak menimbulkan resiko akibat penggunaan reagen yang berbahaya.Sedangkan kelemahan dari cara langsung, antara lain :
a.       Membutuhkan waktu yang lebih lama,
b.      Tanpa penambahan regensia, 
c.       Memerlukan suhu yang relatif tinggi, dan
d.      Adanya kemungkinan kehilangan air karena pemakaian suhu tinggi
Prinsip dari pengabuan cara tidak langsung yaitu memberikan reagen kimia tertentu kedalam bahan sebelum dilakukan pengabuan. Senyawa yang biasa ditambahkan adalah gliserol alkohol ataupun pasir bebas anorganik selanjutnya dilakukan pemanasan pada suhu tinggi. Pemanasan mengakibatkan gliserol alkohol membentuk kerak sehingga menyebabkan terjadinya porositas bahan menjadi besar dan dapat mempercepat oksidasi. Sedangkan pada pemanasan untuk pasir bebas dapat membuat permukaan yang bersinggungan dengan oksigen semakin luas dan memperbesar porositas, sehingga mempercepat proses pengabuan. (Sudarmadji, 1996)
2.3 Klasifikasi Dan Morfologi Jahe
Jahe  (Zingiber officinale), adalah tanaman rimpang yang sangat populer sebagai rempah-rempah dan bahan obat. Rimpangnya berbentuk jemari yang menggembung di ruas-ruas tengah. Rasa dominan pedas disebabkan senyawa keton bernama zingeron. Tanaman jahe sudah terkenal sebagai bahan obat dan penghangat. Jahe merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu. Jahe termasuk dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae), berikut klasifikasi dan morfologi jahe.
Divisi                    : Spermatophyta
Sub-divisi            : Angiospermae
Kelas                    : Monocotyledoneae
Ordo                     : Zingiberales
Famili                   : Zingiberaceae
Genus                  : Zingiber
Species                : Zingiber officinale
Gambar.1 Tanaman Jahe
Terna berbatang semu, tinggi 30 cm sampai 1 m, rimpang bila dipotong berwarna kuning atau jingga. Daun sempit, panjang 15 – 23 mm, lebar 8 – 15 mm ; tangkai daun berbulu, panjang 2 – 4 mm ; bentuk lidah daun memanjang, panjang 7,5 – 10 mm, & tidak berbulu; seludang agak berbulu. Perbungaan berupa malai tersembul dipermukaan tanah, berbentuk tongkat atau bundar telur yg sempit, 2,75 – 3 kali lebarnya, sangat tajam ; panjang malai 3,5 – 5 cm, lebar 1,5 – 1,75 cm ; gagang bunga hampir tidak berbulu, panjang 25 cm, rahis berbulu jarang ; sisik pada gagang terdapat 5 – 7 buah, berbentuk lanset, letaknya berdekatan atau rapat, hampir tidak berbulu, panjang sisik 3 – 5 cm; daun pelindung berbentuk bundar telur terbalik, bundar pada ujungnya, tidak berbulu, berwarna hijau cerah, panjang 2,5 cm, lebar 1 – 1,75 cm ; mahkota bunga berbentuk tabung 2 – 2,5 cm, helainya agak sempit, berbentuk tajam, berwarna kuning kehijauan, panjang 1,5 – 2,5 mm, lebar 3 – 3,5 mm, bibir berwarna ungu, gelap, berbintik-bintik berwarna putih kekuningan, panjang 12 – 15 mm ; kepala sari berwarna ungu, panjang 9 mm ; tangkai putik 2
Jahe dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan ukuran, bentuk dan warna rimpangnya. Umumnya dikenal 3 varietas jahe, yaitu :
1.        Jahe putih/kuning besar atau disebut juga jahe gajah atau jahe badak : Rimpangnya lebih besar dan gemuk, ruas rimpangnya lebih menggembung dari kedua varietas lainnya. Jenis jahe ini bias dikonsumsi baik saat berumur muda maupun berumur tua, baik sebagai jahe segar maupun jahe olahan.
2.        Jahe putih/kuning kecil atau disebut juga jahe sunti atau jahe emprit : Ruasnya kecil, agak rata sampai agak sedikit menggembung. Jahe ini selalu dipanen setelah berumur tua. Kandungan minyak atsirinya lebih besar dari pada jahe gajah, sehingga rasanya lebih pedas, disamping seratnya tinggi. Jahe ini cocok utk ramuan obat-obatan, atau utk diekstrak oleoresin dan minyak atsirinya.
3.        Jahe merah : Rimpangnya berwarna merah dan lebih kecil dari pada jahe putih kecil. sama seperti jahe kecil, jahe merah selalu dipanen setelah tua, dan juga memiliki kandungan minyak atsiri yg sama dengan jahe kecil, sehingga cocok utk ramuan obat-obatan.



BAB III
Metodologi Penelitian

3.1  Jenis Metode Penelitian
Metode yang digunakan oleh peneliti adalah metode  perbandingan eksperimen. Metode perbandingan eksperimen adalah cara penyajian pelajaran dimana siswa melakukan percobaan dengan mengalami dan membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajari. Siswa dituntut untuk mengalami sendiri, mencari kebenaran. Dengan merangkai alat kemudian diuji coba dalam sebuah percobaan.

3.2  Alat dan Bahan
Dengan menggunakan metode penelitian ekpsrimen tentu pada pelaksanaan penelitian akan memerlukan alat dan bahan sebagai berikut ini:
1.    Sapu
2.    Cangkul dan sekop
3.    Daun-daun, kayu & tempurung Kelapa kering
4.    Korek
5.    10 Bibit jahe
6.    Pot

3.3  Prosedur Percobaan
Untuk mempermudah proses penelitian maka penelitian akan dilaksanakan berdasarkan prosedur berikut ini:
1.     Menyiapkan alat dan bahan
2.     Buat abu organik dengan membakar daun-daun, kayu dan tempurung kelapa
3.     Buat dua sampel bibit jahe dan tanam terpisah boleh didalam pot, satu menggunakan media tanah abu organik dan menggunakan tanah biasa.
4.     Beri perlakuan penyiraman air yang sama..
5.     Amati pertumbuhan keduanya dalam 14 hari.
6.     Catat setiap perkembangan pertumbuhan.

























BAB IV
Hasil dan pembahasan


4.1 Hasil Penelitian
Setelah menjalankan prosedur penelitian dan mencatat setiap pertumbuhan pada setiap sampel. Baik pada tanaman jahe ya yang ditanaman dengan media Abu Organik maupun yang ditanam pada media tanah biasa, maka didapat hasil yang tersaji dalam tabel berikut ini:
No
Tanggal
Hari ke
Tinggi Pertumbuhan Jahe
Tanah Abu Organik
 Tanah Biasa
1
7 Oktober 2015
7
0
0
2
14 Oktober 2015
14
1,9 cm
1 cm
3
21 Oktober 2015
21
3,5 cm
1,7 cm
4
28 Oktober 2015
28
9    cm
7,2  cm
5
4 November 2015
35
16  cm
10 cm
Tabel Hasil Penelitian
4.2 Pengaruh Media Tanam Tanah Abu Organik Dan Tanah Biasa
Media tanam berfungsi sebagai tempat tumbuh dan perkembangan akar serta tempat tanaman mengabsorpsi unsur hara dan air. Jenis dan sifat media tanam berperan alam ketersediaan unsur hara dan air sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Perbedaan karakteristik media terutama pada kandungan unsur hara lagi tanaman dan daya mengikat air tercermin pada porositas, kelembaban dan aerasi.
Penjelasan diatas cukup memberi penjelasan terhadap hasil penelitian yang menunjukan bahwa jahe yang ditanam pada media tanah abu organik tumbuh lebih baik dibandingkan tanaman jahe yang ditanam pada media tanah biasa. Ini karena kandungan hara dalam tanah abu organic lebih tinggi dari tanah biasa. Di dalam abu tersebut dijumpai garam-garam atau oksida-oksida dari K, P, Na, Mg, Ca, Fe, Mn, dan Cu, disamping itu terdapat dalam kadar yang sangat kecil seperti Al, Ba, Sr, Pb, Li, Ag, Ti, As, dan lain-lain. Mineral-mineral tersebut sangat dibutuhkan tanaman jahe untuk tumbuh. Perbandingan pertumbuhan ini dapat dilihat dalam gambar dibawah ini.
Gambar pertumbuhan tanaman jahe pada media tanah Abu Organik.
Gambar pertumbuhan tanaman jahe pada media tanah biasa.

Gambar diatas memberi informasi yang cukup tentang kelebihan menanam jahe dengan media tanah abu organik secara ukuran panjang tanaman jahe yang ditanam pada media abu organik  lebih tinggi dan mengalami pembentukan daun lebih dulu dibanding jahe yang ditanaman pada media tanah biasa yang cenderung lebih lama tumbuh dan belum melakukan pembentukan daun pada hari    ke-35. Keseluruhan hasil dan pembahasan dari penelitian ini membenarkan hipotesa peneliti bahwa ada hubungan antara media tanam tanah abu organik dan tanah biasa dengan tingkat pertumbuhan pada tanaman jahe



























BAB V
Penutup


5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, serta hasil dan pembahasan yang telah dijabarkan dalam bab sebelumnya mengenai pengaruh media tanam abu organik dan tanah biasa terhadap pertumbuhan tanaman jahe, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa : Tanaman jahe yang ditanam pada media abu organic tumbuh lebih cepat, subur dan sehat jika dibanding tanaman jahe yang ditanam pada media tanah biasa hal ini karena kandungan hara pada tanah abu lebih tinggi dari tanah biasa. 

5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diambil maka penulis menyarankan agar, pada proses budidaya tanaman jahe pemilihan media tanam akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan tanaman jahe itu sendiri. Untuk itu pemilihan media tanam yang tepat akan sangat menentukan hasil.










DAFTAR PUSTAKA

Anonymous,b.2011. budidaya jahe.)
Darmawijaya, M.I.  1997.  Klasifikasi Tanah.  Gadjah Mada University.  Yogyakarta
Anonim, Mengenal Budidaya JAHE dan Frospek JAHE, Koperasi Daar El­Kutub,Jakarta, 1999
Sukarsono, 2003, Media Pertumbuhan Tanaman, Jurnal Pertanian, Vol.1. No.3, Hal: 14-16.
hhttps://kebunbibit.id/smartblog/130_Abu-Sebagai-Pupuk-Tanaman

Post a Comment

Previous Post Next Post
🎓 Ingin Lanjutkan Pendidikan?

Dapatkan pendidikan kesetaraan Paket B & C dengan metode fleksibel dan berbasis digital. Ayo, wujudkan masa depan cerahmu bersama kami!