BAB I
PENDAHULUAN
Jahe berasal dari Asia Pasifik yg tersebar dari
India sampai Cina. Oleh karena itu kedua bangsa ini disebut-sebut sebagai
bangsa yg pertama kali memanfaatkan jahe terutama sebagai bahan minuman, bumbu
masak dan obat-obatan tradisional. Adapun manfaat secara pharmakologi antara lain adalah sebagai
karminatif (peluruh kembung), anti muntah, pereda kejang, anti pengerasan
pembuluh darah, peluruh keringat, anti inflamasi, anti mikroba & parasit,
anti piretik, anti rematik, serta merangsang pengeluaran getah lambung &
getah empedu.
Selama ini pengelolaan sampah
organik sebagai pupuk untuk berbagai
tanaman sudah sangat dikenal masyrakat luas. Pengolahan sampah organik yang
paling mudah adalah dengan membakarnya hingga menjadi arang dan abu. Arang dan
abu kemudian dipakai masyarakat untuk memupuk berbagai tanaman salah satunya
adalah tanaman jahe. Masyarakat umumnya
percaya arang dari sampah organik dapat membatu pertumbuhan tanaman. Hal ini
yang menarik bagi penulis untuk melakukan penelitian tentang pengaruh media
tanah arang organik terhadap pertumbuhan tanaman jahe.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1.
Bagaimana
pengaruh tanah
organik terhadap pertumbuhan tanaman
jahe (Zingiber officinale)?
2.
Bagaimana
pengaruh tanah biasa terhadap pertumbuhan tanaman jahe
(Zingiber officinale)?
1.3 Tujuan
Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
1.
Menjelaskan
pengaruh
tanah abu organik terhadap pertumbuhan tanaman jahe (Zingiber
officinale) .
2.
Mengetahui
pengaruh tanah biasa terhadap pertumbuhan tanaman jahe
(Zingiber officinale
).
1.4 Metode Penelitian
Metode
yang digunakan oleh peneliti adalah metode perbandingan eksperimen. Metode perbandingan
eksperimen adalah cara penyajian pelajaran dimana siswa
melakukan percobaan dengan mengalami dan membuktikan sendiri sesuatu yang
dipelajari. Siswa dituntut untuk mengalami sendiri, mencari kebenaran.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1 Karaktristik
Tanah
sebagai salah satu indikator terpenting dalam fungsinya secara epidologi yaitu
tempat tumbuh dan berkembangnya tanaman. Memiliki fungsi yang beragam dalam
menyediakan bahan alam yang dibutuhkan oleh tanaman antara lain yang kita
ketahui seperti air, hara, dan udara. Mineral-mineral yang berada dalam tanah
juga berpengaruh terhadap tersedianya unsur hara bagi tanaman. Media tanam sebagai asumsi awal yang telah
kita pelajari sebelumnya yaitu tanah. Tanah secara harafiah dapat kita ketehaui
defenisinya yakni bahan alam yang terdapat pada lapisan terluar bumi akibat
adanya bahan induk penyusunya serta mineral yang terdekomposisi secara berkala
dan berpireode melekat menjadi satu kesatuan, biasa kita kenal sebagai bahan
organik tanah. Ciri umun bahan organik sebagai salah satu fungsinya menyuburkan
tanah yaitu mengandung mineral –mineral basa dan asam yang jumlahnya sesuai
dengan yang dibutuhkan tanaman. Mineral tersebut dapat berupa unsur bebas baik
bersifat asam (Cl, F, Br, dll ) maupun
bersifat basa ( N, P, K, dll ) selain itu juga senyawa elektrolit
seperti air. Sifat tanah sendiri juga berpengaruh terhadap fungsi tanah sebagai
media tanam mulai dari sifat fisika baik tekstur, struktur,konsistensi dan
masih banyak lagi sifat fisik yang lain dapat menentukan tanah tersebut baik
atau tidak sebagai media tanam, sifat bilogi dilihat dari kegiatan fauna tanah
yang berukuran makro, mikro dan meso didalam tanah berfungsi mengolah unsur
hara tanah, sifat kimia berhubungan erat dengan Ph atau tingkat keasaman dan
kebasaan tanah dan KTK (kapasitas tukar kation) atau kemampuan tanah dalam
menjerap ion ion (hara) dalam tanah.
Tanah
diolah sedemikian rupa juga dimaksudkan untuk memaksimalkan fungsinya untuk
tumbuh dan berkembang tanaman, karena tanah memiliki dua spesifikasi umum yang
kita ketahui yaitu tanah basah dan kering, tanah basah digunakan untuk tanaman
seperti padi (kebutuhan akan air tinggi) dan kering digunakan untuk tanaman
seperti jagung dan sejenis palawija. Untuk pengolahan tanah sendiri yang kita
ketahui juga ada dua yaitu secara tradisional dan modern, tradisional masih
menggunakan tenaga kasar manusia dan ternak dan secara modern kita kenal dengan
mesin traktor dan mesin pengolah tanah lainya.
Selain
tanah sebagai media tanam yang digunakan, sekarang ini juga telah ditemukan
media tanam baru yaitu hidroponik. Cara tanam hidroponik sendiri juga memiliki
keunggulan yaitu meminimalkan penggunaan lahan namun dengan konsekuensinya
yaitu mengoptimalkan sifat tanah dlam media air, maksudnya dibuat atau diatur
sedemikian rupa agar kondisi air yang digunakan sebagai media tanam juga
memiliki sifat yang sama seperti tanah pada umunya seperti unsur hara, dan
ketersediaan oksigen dalam air. Semua itu menjadi dasar bagaimana kita
menyikapi cara penggunaan tanah dan air sebagai indikator media tanam dari
tanaman.
Tanah adalah
lapisan atas bumi yang merupakan campuran dari pelapukan batuan dan jasad
makhluk hidup yang telah mati dan membusuk. Oleh pengaruh cuaca, jasad
makhluk hidup tadi menjadi lapuk, mineral-mineralnya terurai (terlepas), dan
kemudian membentuk tanah yang subur. Tanah juga disebut lithosfer (lith = batuan)
karena dibentuk dari hasil pelapukan batuan.
Tanah
merupakan unsur kehidupan yang paling penting. Tanpa tanah, tentu kita tak ada
tempat berpijak. Tanah memiliki banyak jenis karena perbedaan proses
pembentukan dan unsur yang terdapat di dalamnya juga berbeda. Berikut
jenis-jenis tanah yang ada di Indonesia.
1.
Tanah
Regosol
Sama seperti andosol,
tanah regosol berasal dari material gunung berasi tetapi bentuknya lebih kasar.
Tanah regosol bersifat subur sehingga sangat cocok untuk digunakan sebagai
lahan pertanian khususnya palawija, sayuran, dan padi. Umumnya tanah regosol
berada didaerah-daerah yang memiliki gunung api seperti di Sumatera, Jawa, Bali
dan juga Nusa Tenggara.
2. Tanah Aluvial
Tanah aluvial disebut
juga dengan tanah endapan karena tanah ini dihasilakan dari proses pengendapan
didaerah dataran rendah. Tanah jenis ini tergolong subur karena mengandung
banyak mineral yang berasal dari gunung api. Pada umumnya digunakan masyarakat
untuk lahan pertanian seperti di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi,
dan juga Kepulauan Maluku.
3. Tanah Humus
Humus merupakan salah
satu jenis tanah organosol yang didapat dari proses pelapukan (pembusukan)
bahan-bahan organik seperti tumbuh-tumbuhan. Tanah ini sangat mudah dikenali
karena sifatnya yang mudah basah dan warnanya yang kehitaman. Humus merupakan
jenis tanah yang subur karena mengandung unsur-unsur organik yang baik bagi
pertumbuhan tanaman.
4.
Tanah
Gambut
Jenis-jenis tanah
lainnya yang ada di Indonesia adalah tanah Gambut. Sama halnya dengan tanah humus,
tanah ini termasuk kedalam golongan tanah organosol yang diperoleh dari
pembusukan bahan-bahan organik. Hal yang membedakan adalah tanah gambut ini
dihasilkan dari pembusukan tumbuhan (bahan-bahan organik) yang berada disekitar
rawa-rawa.
5.
Tanah
Pasir
Jenis-jenis tanah
lainnya yang bisa ditemukan di Indonesia adalah tanah pasir. Tanah jenis ini
umumnya bisa dijumpai didaerah-daerah pesisir atau daerah-daerah yang
berdekatan dengan pantai seperti di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Tanah jenis
ini termasuk tanah yang tidak subur karena memiliki unsur hara yang sedikit
sehingga tidak mungkin dijadikan tanah untuk pertanian.
6. Tanah Padas.
Tanah padas adalah
salah satu jenis tanah yang ada di Indonesia ini. Tanah ini adalah tanah yang
padat karena mineral yang ada didalamnya telah dikeluarkan oleh air. Tanah ini
tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia. Tanah ini adalah jenis tanah yang
tidak subur dan umumnya masyarakat memanfaatkannya untuk membuat kerajinan dan
bahan bangunan.
2.2 Abu
Organik
Abu merupakan
residu anorganik yang didapat dengan cara mengabukan komponen-komponen organik
dalam bahan pangan. Jumlah dan komposisi abu dalam mineral tergantung pada
jenis bahan pangan serta metode analisis yang digunakan. Abu dan mineral dalam
bahan pangan umumnya berasal dari bahan pangan itu sendiri (indigenous).
Tetapi ada beberapa mineral yang ditambahkan ke dalam bahan pangan, secara
disengaja maupun tidak disengaja. Abu dalam bahan pangan dibedakan menjadi abu
total, abu terlarut dan abu tak larut. (Puspitasari, et.al, 1991)
Analisis
gravimetrik merupakan bagian analisis kuantitatif untuk menentukan jumlah zat
berdasarkan pada penimbangan dari hasil reaksi setelah bahan/analit yang
dihasilkan diperlakukan terhadap pereaksi tertentu. (Widodo, 2010)
Kadar
abu suatu bahan ditetapkan pula secara gravimetri. Penentuan kadar
abu merupakan cara pendugaan kandungan mineral bahan pangan secara kasar. Bobot abu yang diperoleh sebagai
perbedaan bobot cawan berisi abu dan cawan kosong. Apabila suatu sampel
di dalam cawan abu porselen dipanaskan pada suhu tinggi sekitar 650°C akan
menjadi abu berwarna putih.
Ternyata di dalam abu tersebut dijumpai garam-garam atau oksida-oksida dari K,
P, Na, Mg, Ca, Fe, Mn, dan Cu, disamping itu terdapat dalam kadar yang sangat kecil
seperti Al, Ba, Sr, Pb, Li, Ag, Ti, As, dan lain-lain. Besarnya kadar abu dalam
daging ikan umumnya berkisar antara 1 hingga 1,5 %. (Yunizal, et.al, 1998)
Kadar
abu/mineral merupakan bagian berat mineral dari bahan yang didasarkan atas
berat keringnya. Abu yaitu zat organik yang tidak menguap, sisa dari proses
pembakaran atau hasil oksidasi. Penentuan kadar abu ada hubungannya dengan
mineral suatu bahan.
Mineral yang terdapat dalam pangan
terdiri dari 2 jenis garam, yaitu:
1. Garam-garam organik, misalnya garam
dari as. malat, oxalate, asetat, pektat dan lain-lain
2. Garam-garam anorganik, misalnya
phospat, carbonat, chloride, sulfat nitrat dan logam alkali. (Anonim, 2011)
Selain
kedua garam tersebut, kadang-kadang mineral dapat terbentuk sebagai senyawa yang
kompleks yang bersifat organis. Apabila akan ditentukan jumlah mineralnya dalam
bentuk aslinya adalah sangat sulit.
Menurut Winarno (1991), kadar abu yang yang terukur merupakan bahan-bahan
anorganik yang tidak terbakar dalam proses pengabuan, sedangkan bahan-bahan
organik terbakar.
Untuk
menentukan kandungan mineral pada bahan makanan, bahan harus
dihancurkan/didestruksi terlebih dahulu. Cara yang biasa dilakukan yaitu
pengabuan kering (dry ashing) atau pengabuan langsung dan pengabuan
basah (wet digestion). Pemilihan cara tersebut tergantung pada sifat zat
organik dalam bahan, sifat zat anorganik yang ada di dalam bahan, mineral yang
akan dianalisa serta sensitivitas cara yang digunakan. (Apriyantono, et.al, 1989).
Prinsip
dari pengabuan cara langsung yaitu dengan mengoksidasi semua zat organik pada
suhu tinggi, yaitu sekitar 500 – 600 oC dan kemudian melakukan
penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut.
(Sudarmadji, 1996)Pengabuan dilakukan melalui 2 tahap yaitu :
1.
Pemanasan
pada suhu 300oC yang dilakukan dengan maksud untuk dapat melindungi
kandungan bahan yang bersifat volatil dan bahan berlemak hingga kandungan asam
hilang. Pemanasan dilakukan sampai asap habis.
2.
Pemanasan
pada suhu 800oC yang dilakukan agar perubahan suhu pada bahan maupun
porselin tidak secara tiba-tiba agar tidak memecahkan krus yang mudah pecah
pada perubahan suhu yang tiba-tiba.
Pengabuan
kering dapat diterapkan pada hampir semua analisa mineral, kecuali mercuri dan
arsen. Pengabuan kering dapat dilakukan untuk menganalisa kandungan Ca, P, dan
Fe akan tetapi kehilangan K dapat terjadi apabila suhu yang digunakan terlalu
tinggi. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi juga akan menyebabkan beberapa
mineral menjadi tidak larut.
Beberapa
kelemahan maupun kelebihan yang terdapat pada pengabuan dengan cara lansung.
Beberapa kelebihan dari cara langsung, antara lain :
a.
Digunakan
untuk penentuan kadar abu total bahan makanan dan bahan hasil pertanian, serta
digunakan untuk sample yang relatif banyak,
b.
Digunakan
untuk menganalisa abu yang larut dan tidak larut dalam air, serta abu yang
tidak larut dalam asam, dan
c.
Tanpa
menggunakan regensia sehingga biaya lebih murah dan tidak menimbulkan resiko
akibat penggunaan reagen yang berbahaya.Sedangkan kelemahan dari cara langsung,
antara lain :
a.
Membutuhkan waktu yang lebih lama,
b.
Tanpa penambahan regensia,
c.
Memerlukan suhu yang relatif tinggi, dan
d.
Adanya kemungkinan kehilangan air karena pemakaian suhu tinggi
Prinsip dari
pengabuan cara tidak langsung yaitu memberikan reagen kimia tertentu kedalam
bahan sebelum dilakukan pengabuan. Senyawa yang biasa ditambahkan adalah
gliserol alkohol ataupun pasir bebas anorganik selanjutnya dilakukan pemanasan
pada suhu tinggi. Pemanasan mengakibatkan gliserol alkohol membentuk kerak
sehingga menyebabkan terjadinya porositas bahan menjadi besar dan dapat
mempercepat oksidasi. Sedangkan pada pemanasan untuk pasir bebas dapat membuat
permukaan yang bersinggungan dengan oksigen semakin luas dan memperbesar porositas,
sehingga mempercepat proses pengabuan. (Sudarmadji, 1996)
2.3
Klasifikasi Dan Morfologi Jahe
Jahe (Zingiber officinale), adalah tanaman rimpang
yang sangat populer sebagai rempah-rempah dan bahan obat. Rimpangnya berbentuk
jemari yang menggembung di ruas-ruas tengah. Rasa dominan pedas disebabkan
senyawa keton bernama zingeron. Tanaman jahe sudah terkenal
sebagai bahan obat dan penghangat. Jahe merupakan tanaman obat berupa tumbuhan
rumpun berbatang semu. Jahe termasuk dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae),
berikut klasifikasi dan morfologi jahe.
Divisi :
Spermatophyta
Sub-divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Species : Zingiber officinale
Sub-divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Species : Zingiber officinale
Gambar.1 Tanaman Jahe
Terna
berbatang semu, tinggi 30 cm sampai 1 m, rimpang bila dipotong berwarna kuning
atau jingga. Daun sempit, panjang 15 – 23 mm, lebar 8 – 15 mm ; tangkai daun
berbulu, panjang 2 – 4 mm ; bentuk lidah daun memanjang, panjang 7,5 – 10 mm,
& tidak berbulu; seludang agak berbulu. Perbungaan berupa malai tersembul
dipermukaan tanah, berbentuk tongkat atau bundar telur yg sempit, 2,75 – 3 kali
lebarnya, sangat tajam ; panjang malai 3,5 – 5 cm, lebar 1,5 – 1,75 cm ; gagang
bunga hampir tidak berbulu, panjang 25 cm, rahis berbulu jarang ; sisik pada
gagang terdapat 5 – 7 buah, berbentuk lanset, letaknya berdekatan atau rapat,
hampir tidak berbulu, panjang sisik 3 – 5 cm; daun pelindung berbentuk bundar
telur terbalik, bundar pada ujungnya, tidak berbulu, berwarna hijau cerah,
panjang 2,5 cm, lebar 1 – 1,75 cm ; mahkota bunga berbentuk tabung 2 – 2,5 cm,
helainya agak sempit, berbentuk tajam, berwarna kuning kehijauan, panjang 1,5 –
2,5 mm, lebar 3 – 3,5 mm, bibir berwarna ungu, gelap, berbintik-bintik berwarna
putih kekuningan, panjang 12 – 15 mm ; kepala sari berwarna ungu, panjang 9 mm
; tangkai putik 2
Jahe dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan
ukuran, bentuk dan warna rimpangnya. Umumnya dikenal 3 varietas jahe, yaitu :
1.
Jahe putih/kuning besar atau disebut juga jahe gajah atau
jahe badak : Rimpangnya lebih besar dan gemuk, ruas rimpangnya lebih
menggembung dari kedua varietas lainnya. Jenis jahe ini bias dikonsumsi baik
saat berumur muda maupun berumur tua, baik sebagai jahe segar maupun jahe
olahan.
2.
Jahe putih/kuning kecil atau disebut juga jahe sunti atau
jahe emprit : Ruasnya kecil, agak rata sampai agak sedikit menggembung. Jahe
ini selalu dipanen setelah berumur tua. Kandungan minyak atsirinya lebih besar
dari pada jahe gajah, sehingga rasanya lebih pedas, disamping seratnya tinggi.
Jahe ini cocok utk ramuan obat-obatan, atau utk diekstrak oleoresin dan minyak
atsirinya.
3.
Jahe merah : Rimpangnya berwarna merah dan lebih kecil dari
pada jahe putih kecil. sama seperti jahe kecil, jahe merah selalu dipanen
setelah tua, dan juga memiliki kandungan minyak atsiri yg sama dengan jahe
kecil, sehingga cocok utk ramuan obat-obatan.
BAB III
Metodologi
Penelitian
3.1 Jenis
Metode Penelitian
Metode
yang digunakan oleh peneliti adalah metode
perbandingan eksperimen. Metode perbandingan eksperimen adalah cara
penyajian pelajaran dimana siswa melakukan percobaan dengan mengalami dan
membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajari. Siswa dituntut untuk mengalami
sendiri, mencari kebenaran. Dengan
merangkai alat kemudian diuji coba dalam sebuah percobaan.
3.2 Alat dan Bahan
Dengan menggunakan metode
penelitian ekpsrimen tentu pada pelaksanaan penelitian akan memerlukan alat dan
bahan sebagai berikut ini:
1. Sapu
2. Cangkul dan sekop
3. Daun-daun, kayu & tempurung
Kelapa kering
4. Korek
5. 10 Bibit jahe
6. Pot
3.3 Prosedur Percobaan
Untuk
mempermudah proses penelitian maka penelitian akan dilaksanakan berdasarkan
prosedur berikut ini:
1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Buat abu organik dengan membakar
daun-daun, kayu dan tempurung kelapa
3. Buat dua sampel bibit jahe dan tanam
terpisah boleh didalam pot, satu menggunakan media tanah abu organik dan
menggunakan tanah biasa.
4. Beri perlakuan penyiraman air yang
sama..
5. Amati pertumbuhan keduanya dalam 14
hari.
6. Catat setiap perkembangan
pertumbuhan.
BAB IV
Hasil dan
pembahasan
4.1 Hasil Penelitian
Setelah
menjalankan prosedur penelitian dan mencatat setiap pertumbuhan pada setiap
sampel. Baik pada tanaman jahe ya yang ditanaman dengan media Abu Organik
maupun yang ditanam pada media tanah biasa, maka didapat hasil yang tersaji
dalam tabel berikut ini:
No
|
Tanggal
|
Hari
ke
|
Tinggi
Pertumbuhan Jahe
|
|
Tanah
Abu Organik
|
Tanah Biasa
|
|||
1
|
7 Oktober 2015
|
7
|
0
|
0
|
2
|
14 Oktober 2015
|
14
|
1,9 cm
|
1 cm
|
3
|
21 Oktober 2015
|
21
|
3,5 cm
|
1,7 cm
|
4
|
28 Oktober 2015
|
28
|
9 cm
|
7,2 cm
|
5
|
4 November 2015
|
35
|
16
cm
|
10 cm
|
Tabel Hasil
Penelitian
4.2 Pengaruh Media Tanam Tanah Abu
Organik Dan Tanah Biasa
Media tanam berfungsi sebagai tempat tumbuh
dan perkembangan akar serta tempat tanaman mengabsorpsi unsur hara dan air.
Jenis dan sifat media tanam berperan alam ketersediaan unsur hara dan air
sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Perbedaan
karakteristik media terutama pada kandungan unsur hara lagi tanaman dan daya
mengikat air tercermin pada porositas, kelembaban dan aerasi.
Penjelasan diatas cukup memberi penjelasan
terhadap hasil penelitian yang menunjukan bahwa jahe yang ditanam pada media
tanah abu organik tumbuh lebih baik dibandingkan tanaman jahe yang ditanam pada
media tanah biasa. Ini karena kandungan hara dalam tanah abu organic lebih
tinggi dari tanah biasa. Di dalam
abu tersebut dijumpai garam-garam atau oksida-oksida dari K, P, Na, Mg, Ca, Fe,
Mn, dan Cu, disamping itu terdapat dalam kadar yang sangat kecil seperti Al,
Ba, Sr, Pb, Li, Ag, Ti, As, dan lain-lain. Mineral-mineral tersebut sangat
dibutuhkan tanaman jahe untuk tumbuh. Perbandingan pertumbuhan ini dapat
dilihat dalam gambar dibawah ini.
Gambar
pertumbuhan tanaman jahe pada media tanah Abu Organik.
Gambar
pertumbuhan tanaman jahe pada media tanah biasa.
Gambar diatas memberi informasi yang cukup tentang
kelebihan menanam jahe dengan media tanah abu organik secara ukuran panjang
tanaman jahe yang ditanam pada media abu organik lebih tinggi dan mengalami pembentukan daun
lebih dulu dibanding jahe yang ditanaman pada media tanah biasa yang cenderung
lebih lama tumbuh dan belum melakukan pembentukan daun pada hari ke-35. Keseluruhan hasil dan pembahasan dari
penelitian ini membenarkan hipotesa peneliti bahwa ada hubungan antara media
tanam tanah abu organik dan tanah biasa dengan tingkat pertumbuhan pada tanaman
jahe
BAB V
Penutup
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
serta hasil dan pembahasan yang telah dijabarkan dalam bab sebelumnya mengenai
pengaruh media tanam abu organik dan tanah biasa terhadap pertumbuhan tanaman
jahe,
maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa : Tanaman jahe yang ditanam pada media
abu organic tumbuh lebih cepat, subur dan sehat jika dibanding tanaman jahe
yang ditanam pada media tanah biasa hal ini karena kandungan hara pada tanah
abu lebih tinggi dari tanah biasa.
5.2
Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diambil
maka penulis menyarankan agar, pada proses budidaya tanaman jahe pemilihan
media tanam akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan tanaman jahe itu sendiri.
Untuk itu pemilihan media tanam yang tepat akan sangat menentukan hasil.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous,b.2011.
budidaya jahe.)
Darmawijaya,
M.I. 1997. Klasifikasi Tanah. Gadjah Mada University.
Yogyakarta
Anonim,
Mengenal Budidaya JAHE dan Frospek JAHE, Koperasi Daar ElKutub,Jakarta, 1999
Sukarsono,
2003, Media Pertumbuhan Tanaman, Jurnal Pertanian, Vol.1. No.3, Hal:
14-16.
hhttps://kebunbibit.id/smartblog/130_Abu-Sebagai-Pupuk-Tanaman