BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masa remaja adalah periode di mana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai
berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi
pembentukan nilai diri mereka. Elliot
Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian
tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan
lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dan sebagainya.
Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut
yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai
mempertanyakan kebenaran pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak
alternatif lainnya.
Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan
membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan
kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang
selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek
dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia
menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa
dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral
reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya
kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan
kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan
merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan”
yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap “pemberontakan” remaja terhadap peraturan
atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil
pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi
itu tidak baik. Pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa dunia
sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi
itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu saja akan
menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri remaja ini
lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak menemukan
jalan keluarnya. Maka diperlukan penanaman nilai moral ajaran agama bagi
pengendalian kenakalan remaja.
1.2
Rumusan Masalah
1. Mengapa ajaran nilai moral agama harus ditanamkan kepada
anak-anak, terutama remaja ?
2. Bagaimana jika peranan nilai moral ajaran agama ?
1.3
Tujuan
1. Menjelaskan pentingnya penanaman nilai dan moral kepada anak-anak, terutama remaja
2. Menjelaskan pentingnya peranan nilai moral agama bagi
pengendalian kenalakan remaja
1.4
Manfaat
1. Mengetahui pentingnya penanaman nilai dan moral kepada anak-anak, terutama remaja
2. Mengetahui pentingnya peranan nilai moral agama bagi
pengendalian kenalakan remaja
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Teori
Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere
yang berarti to grow atau to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990. Papalia dan
Olds
(2001) tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit
melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence).
Menurut Adams & Gullota
(dalam Aaro, 1997), masa
remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun. Sedangkan Hurlock (1990) membagi
masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa
remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir
dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai
transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa.
Transisi perkembangan pada masa
remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun
sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990). Bagian
dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya
tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa antara
lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan
kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak (Hurlock,
1990; Papalia & Olds, 2001).
Remaja adalah pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan
masa dewasa. Perubahan itu dapat terjadi secara kuantitatif, misalnya
pertambahan tinggi atau berat tubuh; dan kualitatif, misalnya perubahan cara berpikir
secara konkret menjadi abstrak (Papalia dan Olds, 2001). Perkembangan
dalam kehidupan manusia terjadi pada aspek-aspek yang berbeda. Ada tiga aspek
perkembangan yang dikemukakan Papalia dan Olds (2001), yaitu:
(1) perkembangan fisik,
(2) perkembangan kognitif, dan
(3) perkembangan kepribadian dan
sosial.
Aspek-aspek perkembangan pada
masa remaja:
1. Perkembangan fisik
Yang dimaksud dengan perkembangan
fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak, kapasitas sensoris dan
ketrampilan motorik (Papalia & Olds, 2001). Perubahan
pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh, pertumbuhan
tulang dan otot, dan kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi. Tubuh
remaja mulai beralih dari tubuh kanak-kanak yang cirinya adalah pertumbuhan
menjadi tubuh orang dewasa yang cirinya adalah kematangan. Perubahan fisik otak
sehingga strukturnya semakin sempurna meningkatkan kemampuan kognitif (Piaget dalam Papalia dan Olds,
2001).
2. Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif adalah
perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan
bahasa. Piaget (dalam Papalia & Olds, 2001) mengemukakan
bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari
struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk
eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Piaget menyebut
tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal (dalam Papalia
& Olds, 2001).
Tahap formal operations adalah
suatu tahap dimana seseorang sudah mampu berpikir secara abstrak. Seorang
remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual, serta pengalaman yang
benar-benar terjadi. Dengan mencapai tahap operasi formal remaja dapat berpikir
dengan fleksibel dan kompleks.
Salah satu bagian perkembangan
kognitif masa kanak-kanak yang belum sepenuhnya ditinggalkan oleh remaja adalah
kecenderungan cara berpikir egosentrisme (Piaget dalam Papalia & Olds,
2001). Yang dimaksud dengan egosentrisme di sini adalah “ketidakmampuan melihat
suatu hal dari sudut pandang orang lain” (Papalia dan Olds, 2001). Elkind
(dalam Beyth-Marom et al., 1993;
dalam Papalia & Olds, 2001) mengungkapkan salah satu
bentuk cara berpikir egosentrisme yang dikenal dengan istilah personal fabel.
“Personal
fable adalah keyakinan remaja bahwa diri mereka unik dan tidak terpengaruh
oleh hukum alam. Belief egosentrik
ini mendorong perilaku merusak diri [self-destructive]
oleh remaja yang berpikir bahwa diri mereka secara magis terlindung dari
bahaya. Misalnya seorang remaja putri berpikir bahwa dirinya tidak mungkin
hamil [karena perilaku seksual yang dilakukannya], atau seorang remaja pria
berpikir bahwa ia tidak akan sampai meninggal dunia di jalan raya [saat
mengendarai motor/mobil], atau remaja yang mencoba-coba obat terlarang [drugs] berpikir bahwa ia tidak akan
mengalami kecanduan. Remaja biasanya menganggap bahwa hal-hal itu hanya terjadi
pada orang lain, bukan pada dirinya”.
3. Perkembangan kepribadian dan
sosial
Yang dimaksud dengan perkembangan
kepribadian adalah perubahan cara individu berhubungan dengan dunia dan
menyatakan emosi secara unik; sedangkan perkembangan sosial berarti perubahan
dalam berhubungan dengan orang lain (Papalia & Olds, 2001). Perkembangan
kepribadian yang penting pada masa remaja adalah pencarian identitas diri. Yang
dimaksud dengan pencarian identitas diri adalah proses menjadi seorang yang
unik dengan peran yang penting dalam hidup (Erikson dalam Papalia
& Olds, 2001).
Perkembangan sosial pada masa
remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua (Conger,
1991; Papalia & Olds, 2001). Dibanding pada masa
kanak-kanak, remaja lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti
kegiatan sekolah, ekstra kurikuler dan bermain dengan teman (Conger, 1991; Papalia
& Olds, 2001). Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok
teman sebaya adalah besar.
Pada diri remaja, pengaruh
lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah
mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya
sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh
tekanan dari kelompok teman sebaya (Conger, 1991).
Kelompok teman sebaya diakui
dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang
perilakunya (Beyth-Marom, et al., 1993; Conger, 1991; Deaux, et al, 1993; Papalia
& Olds, 2001). Conger (1991) dan Papalia & Olds
(2001) mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi
utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya
hidup. Bagi remaja, teman-teman menjadi sumber informasi misalnya mengenai
bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik atau film apa yang bagus, dan
sebagainya (Conger, 1991).
Ciri-ciri Masa Remaja adalah :
1.
Peningkatan emosional yang
terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal dengan sebagai masa storm
& stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan fisik
terutama hormon yang terjadi pada masa remaja.
2.
Perubahan yang cepat secara fisik
yang juga disertai kematangan seksual. Perubahan fisik yang terjadi secara
cepat, baik perubahan internal seperti sistem sirkulasi, pencernaan, dan sistem
respirasi maupun perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan
proporsi tubuh sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja.
3.
Perubahan dalam hal yang menarik
bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain. Selama masa remaja banyak hal-hal
yang menarik bagi dirinya dibawa dari masa kanak-kanak digantikan dengan hal
menarik yang baru dan lebih matang.
4.
Perubahan nilai, dimana apa yang
mereka anggap penting pada masa kanak-kanak menjadi kurang penting karena sudah
mendekati dewasa.
5.
Kebanyakan remaja bersikap
ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Di satu sisi mereka
menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain mereka takut akan tanggung jawab
yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan kemampuan mereka sendiri
untuk memikul tanggung jawab tersebut.
Istilah moral berasal dari kata
Latin “mos” (moris) yang berarti adat istiadat, kebiasaan,
peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan
kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau
prinsip-prinsip moral.
Nilai-nilai moral itu, seperti
seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan
keamanan, memelihara kebersihan, dan memelihara hak orang lain, serta larangan
mencuri, berzina, membunuh, meminum minuman keras dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan
bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral
yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
Menurut Sutikna (1988:5), nilai
adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan
sopan-santun. Menurut Spranger , dikutip oleh Sunaryo Kartadinata
(1988), nilai merupakan suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu
untuk menimbang dan memilih alternative keputusan dalam situassi social
tertentu.
Jadi, nilai itu merupakan :
1. Sesuatu yang diyakini kebenarannya dan mendorong orang untuk mewujudkannya.
2. Produk social yang diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya.
3. Sebagai standar konseptual yang relative stabil yang membimbing individu
dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai dalam rangka memenuhi kebutuhan
psikologisnya.
Spranger menggolongkan nilai ke dalam enam jenis nilai, yaitu :
1.
Nilai teori atau nilai keilmuan
Adalah nilai yang mendasari
perbuatan seseorang berdasarkan pertimbangan rasional.
2.
Nilai ekonomi
Adalah nilai yang mendasari
perbuatan atas dasar pertimbangan untung rugi atau financial.
3.
Nilai social atau solidaritas
Tidak memperhitungkan laba atau
rugi terhadap dirinya yang penting dia dapat melakukannya untuk kepentingan
orang lain dan menimbulkan rasa puas pada dirinya.
4.
Nilai agama
Atas dasar pertimbangan
kepercayaan bahwa sesuatu itu benar menurut agama dan merasa berdosa jika tidak
berbuat sesuai yang disyariatkan agama
5.
Nilai seni
Atas dasar pertimbangan rasa keindahan atau rasa seni yang terlepas
dari berbagai pertimbangan material.
6.
Nilai Politik
Atas dasar pertimbangan
baik-buruknya untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya.Remaja sebagai
individu maupun sebagai komunitas masyarakat memiliki nilai-nilai yang
dianutnya. Nilai yang dianut remaja tersebt dapat dipengaruhi oleh posisi
kehidupan mereka, apakah kehidupan secara modern atau secara tradisional. Nilai
yang dianutnya akan berpengaruh terhadap prilaku remaja tersebut.
Nilai-nilai kehidupan yang perlu
diinformasikan dan selanjutnya dihayati oleh para remaja tidak terbatas pada
adat kebiasaan dan sopan santun saja, namun juga seperangkat nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila misalnya nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai
perikemanusiaan dan perikeadilan, nilai-nilai estetik, nilai-nilai etik, dan
nilai-nilai intelektual dalam bentuk-bentuk sesuai dengan perkembangan remaja.
Pengertian Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja adalah tingkah laku individu yang bertentangan dengan
syarat-syarat dan pendapat umum yang dianggap sebagai acceptable dan baik oleh
suatu lingkungan atau hokum yang berlaku di suatu masyarakat yang berkebudayaan
(Sofyan,2005:89).
Menurut Kartono, ilmuwan sosiologi “Kenakalan
Remaja atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah juvenile delinquency
merupakan gejala patologis sosial pada remaja yang disebabkan oleh satu bentuk
pengabaian sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk perilaku yang
menyimpang”. Menurut Santrock “Kenakalan remaja merupakan kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang
tidak dapat diterima secara sosial hingga terjadi tindakan kriminal.”
Bentuk-bentuk Kenakalan
Remaja Adapun bentuk-bentuk dari kenakalan remaja adalah :
a.
Kebut-kebutan dijalanan yang mengganggu
keamanan lalu lintas dan membahayakan jiwa serta orang lain
b.
Membolos sekolah lalu bergelandangan
sepanjang jalan dan kadang-kadang pergi ke pasar untuk bermain game
c.
Memakai dan menggunakan bahan narkotika
bahkan hal yang mereka anggap ringan yakni minuman keras.
d.
Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain
dengan taruhan, seperti permainan domino, remi dan lain-lain.
e.
Perkelahian antar geng, antar kelompok, antar
sekolah, sehingga harus melibatkan pihak yang berwajib.
Penyebab Kenakalan Remaja adalah :
a.
Faktor Internal (Dalam)
1)
Reaksi frustasi diri. Dengan semakin pesatnya
usaha pembangunan, modernisasi yang berakibat pada banyaknya anak remaja yang
tidak mampu menyesuaikan diri terhadap berbagai perubahan sosial itu. Mereka
lalu mengalami banyak kejutan, frustasi, ketegangan batin dan bahkan sampai
kepada gangguan jiwa.
2)
Gangguan pengamatan dan tanggapan pada anak
remaja. Adanya gangguan pengamatan dan tanggapan di atas sangat mengganggu daya
adaptasi dan perkembangan pribadi anak yang sehat. Gangguan pengamatan dan
tanggapan itu, antara lain : halusinasi, ilusi dan gambaran semua. Tanggapan
anak tidak merupakan pencerminan realitas lingkungan yang nyata, tetapi berupa
pengolahan batin yang keliru, sehingga timbul interpretasi dan pengertian yang
salah. Sebabnya ialah semua itu diwarnai harapan yang terlalu muluk, dan
kecemasan yang berlebihan.
3)
Gangguan berfikir dan intelegensi pada diri
remaja. Berfikir mutlak perlu bagi kemampuan orientasi yang sehat dan adaptasi
yang wajar terhadap tuntutan lingkungan. Berpikir juga penting bagi upaya
pemecahan kesulitan dan permasalahan hidup sehari-hari. Jika anak remaja tidak
mampu mengoreksi pekiran-pekirannya yang salah dan tidak sesuai dengan realita
yang ada, maka pikirannya terganggu.
4)
Gangguan perasaan pada anak remaja. Perasaan
memberikan nilai pada situasi kehidupan dan menentukan sekali besar kecilnya
kebahagiaan serta rasa kepuasan. Perasaan bergandengan dengan pemuasan terhadap
harapan, keinginan dan kebutuhan manusia. Jika semua tadi terpuaskan, orang
merasa senang dan bahagia.
b.
Faktor Eksternal (Luar)
Selain faktor dari
dalam ada juga faktor yang datang dari luar anak tersebut, antara lain :
1)
Keluarga Tidak diragukan bahwa keluarga
memegang peranan penting dalam pembentukan pribadi remaja dan menentukan masa
depannya. Mayoritas remaja yang terlibat dalam kenakalan atau melakukan tindak
kekerasan biasanya berasal dari keluarga yang berantakan, keluarga yang tidak
harmonis di mana pertengkaran ayah dan ibu menjadi santapan sehari-hari remaja.
Bapak yang otoriter, pemabuk, suka menyiksa anak, atau ibu yang acuh tak acuh,
ibu yang lemah kepribadian dalam arti kata tidak tegas menghadapi remaja,
kemiskinan yang membelit keluarga, kurangnya nilai-nilai agama yang diamalkan
dll semuanya menjadi faktor yang mendorong remaja melakukan tindak kekerasan
dan kenakalan.
2)
Lingkungan Sekolah yang Tidak Menguntungkan
Sekolah kita sampai waktu sekarang masih banyak berfungsi sebagai “sekolah
dengar” daripada memberikan kesempatan luas untuk membangun aktivitas,
kreativitas dan inventivitas anak. Dengan demikian sekolah tidak membangun
dinamisme anak, dan tidak merangsang kegairahan belajar anak. Selanjutnya,
berjam-jam lamanya setiap hari anak-anak harus melakukan kegiatan yang
tertekan, duduk, dan pasif mendengarkan, sehingga mereka menjadi jemu, jengkel
dan apatis.
3)
Media elektronik Tv, video, film dan
sebagainya nampaknya ikut berperan merusak mental remaja, padahal mayoritas
ibu-ibu yang sibuk menyuruh anaknya menonton tv sebagai upaya menghindari
tuntutan anak yang tak ada habisnya. Sebuah penelitian lapangan yang pernah
dilakukan di Amerika menunjukkan bahwa film-film yang memamerkan tindak
kekerasan sangat berdampak buruk pada tingkah laku remaja. Anak yang sering
menonton film-film keras lebih terlibat dalam tindak kekerasan ketika remaja
dibandingkan dengan teman-temannya yang jarang menonton film sejenis. Polisi
Amerika menyebutkan bahwa sejumlah tindak kekerasan yang pernah ditangani
polisi ternyata dilakukan oleh remaja persis sama dengan adegan-adegan film
yang ditontonnya. Ternyata anak meniru dan mengindentifikasi film-film yang
ditontonnya.
4)
Pengaruh pergaulan Di usia remaja, anak mulai
meluaskan pergaulan sosialnya dengan teman-tema sebayanya. Remaja mulai betah
berbicara berjam jam melalui telefon. Hubungan sosial di masa remaja ini
dinilai positif karena bisa mengembangkan orientasi remaja memperluas visi
pandang dan wawasan serta menambah informasi, bahkan dari hubungan sosial ini
remaja menyerap nilai-nilai sosial yang ada di sekelilingnya. Semua faktor ini
menjadi penyokong dalam pembentukan kepribadiannya dan menambah rasa percaya
diri karena pengaruh pergaulan yang begitu besar pada diri remaja, maka
hubungan remaja dengan teman sebayanya menentukan kualitas remaja itu. Kalau
ini disadari oleh remaja, maka dengan sadar remaja akan menyeleksi teman
pergaulannya
2.2 Pentingnya Penanaman Nilai dan Moral Ajaran
Agama bagi Pengendalian Kenakalan Remaja
Setiap orang tua memiliki tanggung jawab moral untuk
mendidik anak-anaknya sesuai dengan agama dan keyakinan yang ia anut. Oleh
karena itu, orang tua memiliki kewajiban mengarahkan anak-anaknya untuk
berperilaku sesuai dengan agama yang dianutnya.
Apabila proses penanaman nilai-nilai dan norma-norma yang
terkandung dalam ajaran agama dapat ditanamkan sejak dini kepada diri
anak-anak, maka ia akan memiliki sikap mental yang kokoh, sehingga tidak
tergiur untuk melakukan perilaku menyimpang meskipun dalam situasi yang sangat
sulit. Sebab salah satu ciri khas orang yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa adalah kuat dan tabah menghadapi berbagai cobaan dan tetap
bersandarkan kepada kekuasaan Tuhan dalam bentuk tetap taat menjalankan
perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya.
Kontras tajam antara ajaran dan teladan nyata dari orang
tua, guru di sekolah, dan tokoh-tokoh panutan di masyarakat akan memberikan
pengaruh yang besar kepada sikap, perilaku, dan moralitas para remaja. Kurang
adanya pembinaan moral yang nyata dan pudarnya keteladanan para orangtua
ataupun pendidik di sekolah menjadi faktor kunci dalam proses perkembangan kepribadian
remaja. Secara psikologis, kehidupan remaja adalah kehidupan mencari idola.
Mereka mendambakan sosok orang yang dapat dijadikan panutan. Segi pembinaan
moral menjadi terlupakan pada saat orang tua ataupun pendidik hanya
memperhatikan segi intelektual. Pendidikan disekolah terkadang terjerumus pada
formalitas pemenuhan kurikulum pendidikan, mengejar bahan ajaran, sehingga
melupakan segi pembinaan kepribadian penanaman nilai-nilai pendidikan moral dan
pembentukan sikap.
Berdasarkan hasil survey
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Kita dan Buah hati menunjukkan bahwa
67% siswa SD pernah mengakses pornografi melalui media komik dan internet.
Survey yang dilakukan meliputi 2.818 siswa SD kelas 4-6 di Indonesia sejak Januari
2008 s/d Februari 2010. Akibat labih jauh dari minimnya pendidikan agama sejak
SD, maka perilaku menyimpang di usia SMP semakin meningkat. Menurut Komisi
Nasional Perlindungan Anak merils data bahwa 62,7% remaja putri SMP di
Indonesia sudah tidak perawan. Hasil lain, ternyata 93.7% siswa SMP dan SMA
pernah berciuman, 21,2% remaja SMP mengaku pernah aborsi dan 97% remaja SMP dan
SMA pernah melihat film porno. Kenyataan ini seharusnya menyadarkan kita untuk
membekali anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) khususnya dengan dasar ilmu agama
yang layak. Salah satu lembaga pendidikan yang cukup kompeten memberikan bekal
pengetahuan agama bagi anak-anak maupun remaja diantaranya adalah MD (Madrasah
Diniyah) dan TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur’an). Namun pada kenyataannya selama
ini, mayoritas orang tua yang memiliki anak usia SD maupun anak remaja
memandang sebelah mata bahkan tidak peduli dengan lembaga-lembaga pendidikan
agama tersebut karana menganggap tidak punya jaminan masa depan, padahal
lembaga-lembaga tersebut adalah lembaga pendidikan agama Islam yang menanamkan
prinsip-prinsip dasar ajaran agama Islam, namun mereka lebih mementingkan
pendidikan umum bagi anak-anak mereka yang lebih mementingkan pendidikan
keduniawian semata.
Pada dasarnya pendidikan mempunyai peran yang sangat urgen untuk menjamin
perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu bangsa dan pendidikan juga
dijadikan sebagai tolak ukur kemajuan suatu bangsa tersebut, sebab
pendidikanlah yang mencetak sumber daya manusia, yang pada prinsipnya sebagai
penggerak pada pemerintahan, selain itu juga pendidikan menjadi cermin
kepribadian masyarakat.
Suatu kenyataan yang dapat dipastikan bahwa masa remaja adalah masa yang
penuh dengan kegoncangan, di samping itu disadari pula bahwa remaja mempunyai
potensi yang sangat besar. Oleh karena itu, remaja sangat memerlukan pembinaan.
Agamalah yang dapat membantu mereka dalam mengatasi dorongan-dorongan dan
keinginan-keinginan yang belum pernah mereka kenal sebelumnya yang seringkali
bertentangan dengan nilai-nilai agama yang dianut oleh para orang tua atau
lingkungan tempat mereka hidup. Ajaran agama Islam berintikan keyakinan
(aqidah), ibadah, syariah dan akhlak yang sangat membantu dalam mengatasi
kehidupan remaja yang serba kompleks. (Abd. Rahman Getteng, 1997).
Sejalan dengan berbagai fenomena pendidikan dewasa ini, sebagai akibat
globalisasi yang kian merambah berbagai dimensi kehidupan, kehadiran Pendidikan
Agama khususnya Agama Islam diharapkan mampu memberikan solusi terhadap
berbagai persoalan-persoalan.
Pendidikan agama pada remaja ditandai oleh adanya pertimbangan sosial.
Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan
moral dan material. Remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena
kehidupan duniawi dipengaruhi kepentingan akan materi, maka para remaja lebih
cenderung jiwanya untuk bersikap materialis. Hasil penyelidikan Ernest Harms terhadap 1.789
remaja Amerika antara usia 18 – 29 tahun menunjukan bahwa 70% pemikiran remaja
ditujukan bagi kepentingan : keuangan, kesejahteraan, kebahagiaan, kehormatan
diri dan masalah kesenangan pribadi lainnya. Sedangkan masalah akherat dan
keagamaan hanya sekitar 3,6%, masalah sosial 5.8%.
Pelaksanaan pendidikan agama yang diberikan bukan hanya menjadikan manusia
yang pintar dan terampil, akan tetapi jauh daripada itu adalah untuk menjadikan
manusia yang memiliki moral dan akhlakul karimah. Dengan moral dan akhlakul
karimah yang dimilikinya akan mampu mengarahkan minatnya untuk terus belajar
mencari ilmu.
Para ahli pendidik Islam telah sepakat bahwa maksud dari pendidikan dan
pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik, tetapi maksudnya adalah mendidik
akhlak dan jiwa mereka, dengan kesopanan yang tinggi, rasa fadhilah
(keutamaan), mempersiapkan mereka untuk kehidupan yang seluruhnya ikhlas dan
jujur.
Pendidikan agama menawarkan perlindungan dan rasa aman, khususnya bagi anak
dalam menghadapi lingkungannya.
Pada akhirnya, tujuan pendidikan Islam itu tidak terlepas dari tujuan
nasional yang menciptakan manusia Indonesia seutuhnya, seimbang kehidupan
duniawi dan ukhrawi. Dalam AlQur’an sudah terang dikatakan bahwa manusia itu
diciptakan untuk mengabdi kepada Allah Swt. Sebagaimana firman Allah SWT yang
artinya : “Dan aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Agama merupakan salah satu faktor pengendalian terhadap tingkah laku
anak-anak dan remaja. Hal ini dapat dimengerti karena agama mewarnai kehidupan
masyarakat setiap hari. Pembinaan dan bimbingan melalui pendidikan agama sangat
besar pengaruhnya bagi anak sebagai alat pengontrol dari segala bentuk sikap
dan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu
adolescere
yang berarti to grow atau to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990. Papalia dan
Olds
(2001) tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit
melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence).Dengan
pengetahuan keagamaan mereka dapat membedakan mana yang baik mana yang buruk,
mana yang dilarang dan mana yang diperintahkan, mana yang halal mana yang
haram, mana yang patut diteladani dan mana yang tidak patut dicontoh.
3.2 Saran
Pentingnya pendidikan
agama bagi remaja semakin membukakan mata kita bahwa sudah semestinya para
pendidik (khususnya orang tua) agar lebih memperhatikan lagi betapa anak-anak
didik kita mempunyai kebutuhan yang sangat besar terhadap pengetahuan dan
pendidikan agama sebagai pondasi/dasar bagi mereka dalam membentuk kepribadian
mereka yang sesungguhnya. Oleh karena itu maka sudah menjadi kewajiban kita
semua untuk memenuhi kebutuhan itu dengan cara memberikan pendidikan agama
sejak dini, dan agar orang tua bersikap lebih bijak dengan memilihkan tempat
pendidikan yang tepat bagi anak-anak mereka agar dapat membantu dalam dalam
proses pemenuhan kebutuhan tersebut. Dengan demikian diharapkan tidak akan
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadap anak-anak tersebut yang hanya
akan menimbulkan penyesalan dimasa mendatang.
Daftar Pustaka
LAMPIRAN
Akibat dari kurangnya ajaran nilai moran agama !