Pentingnya peranan nilai moral agama bagi pengendalian kenalakan remaja



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Masa remaja adalah periode di mana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dan sebagainya. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai mempertanyakan kebenaran pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak alternatif lainnya.
Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap “pemberontakan” remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik. Pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya. Maka diperlukan penanaman nilai moral ajaran agama bagi pengendalian kenakalan remaja.

1.2    Rumusan Masalah
1.    Mengapa ajaran nilai moral agama harus ditanamkan kepada anak-anak, terutama remaja ?
2.    Bagaimana jika peranan nilai moral ajaran agama ?

1.3    Tujuan
1.    Menjelaskan pentingnya penanaman nilai  dan moral kepada anak-anak, terutama remaja
2.    Menjelaskan pentingnya peranan nilai moral agama bagi pengendalian kenalakan remaja

1.4    Manfaat
1.    Mengetahui pentingnya penanaman nilai  dan moral kepada anak-anak, terutama remaja
2.    Mengetahui pentingnya peranan nilai moral agama bagi pengendalian kenalakan remaja


BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Landasan Teori
Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990. Papalia dan Olds (2001) tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence).
Menurut Adams & Gullota (dalam Aaro, 1997), masa remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun. Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa.
Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990). Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak (Hurlock, 1990; Papalia & Olds, 2001).
Remaja adalah  pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Perubahan itu dapat terjadi secara kuantitatif, misalnya pertambahan tinggi atau berat tubuh; dan kualitatif, misalnya perubahan cara berpikir secara konkret menjadi abstrak (Papalia dan Olds, 2001). Perkembangan dalam kehidupan manusia terjadi pada aspek-aspek yang berbeda. Ada tiga aspek perkembangan yang dikemukakan Papalia dan Olds (2001), yaitu:
 (1) perkembangan fisik,
(2) perkembangan kognitif, dan
(3) perkembangan kepribadian dan sosial.
Aspek-aspek perkembangan pada masa remaja:
1.    Perkembangan fisik
Yang dimaksud dengan perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak, kapasitas sensoris dan ketrampilan motorik (Papalia & Olds, 2001). Perubahan pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dan kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi. Tubuh remaja mulai beralih dari tubuh kanak-kanak yang cirinya adalah pertumbuhan menjadi tubuh orang dewasa yang cirinya adalah kematangan. Perubahan fisik otak sehingga strukturnya semakin sempurna meningkatkan kemampuan kognitif (Piaget dalam Papalia dan Olds, 2001).

2.    Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan bahasa. Piaget (dalam Papalia & Olds, 2001) mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Piaget menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal (dalam Papalia & Olds, 2001).
Tahap formal operations adalah suatu tahap dimana seseorang sudah mampu berpikir secara abstrak. Seorang remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual, serta pengalaman yang benar-benar terjadi. Dengan mencapai tahap operasi formal remaja dapat berpikir dengan fleksibel dan kompleks.
Salah satu bagian perkembangan kognitif masa kanak-kanak yang belum sepenuhnya ditinggalkan oleh remaja adalah kecenderungan cara berpikir egosentrisme (Piaget dalam Papalia & Olds, 2001). Yang dimaksud dengan egosentrisme di sini adalah “ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain” (Papalia dan Olds, 2001). Elkind (dalam Beyth-Marom et al., 1993; dalam Papalia & Olds, 2001) mengungkapkan salah satu bentuk cara berpikir egosentrisme yang dikenal dengan istilah personal fabel.
 Personal fable adalah keyakinan remaja bahwa diri mereka unik dan tidak terpengaruh oleh hukum alam. Belief egosentrik ini mendorong perilaku merusak diri [self-destructive] oleh remaja yang berpikir bahwa diri mereka secara magis terlindung dari bahaya. Misalnya seorang remaja putri berpikir bahwa dirinya tidak mungkin hamil [karena perilaku seksual yang dilakukannya], atau seorang remaja pria berpikir bahwa ia tidak akan sampai meninggal dunia di jalan raya [saat mengendarai motor/mobil], atau remaja yang mencoba-coba obat terlarang [drugs] berpikir bahwa ia tidak akan mengalami kecanduan. Remaja biasanya menganggap bahwa hal-hal itu hanya terjadi pada orang lain, bukan pada dirinya”.

3.    Perkembangan kepribadian dan sosial
Yang dimaksud dengan perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik; sedangkan perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan orang lain (Papalia & Olds, 2001). Perkembangan kepribadian yang penting pada masa remaja adalah pencarian identitas diri. Yang dimaksud dengan pencarian identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup (Erikson dalam Papalia & Olds, 2001).
Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dibanding pada masa kanak-kanak, remaja lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstra kurikuler dan bermain dengan teman (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok teman sebaya adalah besar.
Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya (Conger, 1991).
Kelompok teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya (Beyth-Marom, et al., 1993; Conger, 1991; Deaux, et al, 1993; Papalia & Olds, 2001). Conger (1991) dan Papalia & Olds (2001) mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Bagi remaja, teman-teman menjadi sumber informasi misalnya mengenai bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik atau film apa yang bagus, dan sebagainya (Conger, 1991).
Ciri-ciri Masa Remaja adalah :
1.    Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal dengan sebagai masa storm & stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada masa remaja.
2.    Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai kematangan seksual. Perubahan fisik yang terjadi secara cepat, baik perubahan internal seperti sistem sirkulasi, pencernaan, dan sistem respirasi maupun perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja.
3.    Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain. Selama masa remaja banyak hal-hal yang menarik bagi dirinya dibawa dari masa kanak-kanak digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang.
4.    Perubahan nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa.
5.    Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Di satu sisi mereka menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain mereka takut akan tanggung jawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan kemampuan mereka sendiri untuk memikul tanggung jawab tersebut.
Istilah moral berasal dari kata Latin “mos” (moris) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral.
Nilai-nilai moral itu, seperti seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan, dan memelihara hak orang lain, serta larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum minuman keras dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
Menurut Sutikna (1988:5), nilai adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan-santun. Menurut Spranger , dikutip oleh Sunaryo Kartadinata (1988), nilai merupakan suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternative keputusan dalam situassi social tertentu.
Jadi, nilai itu merupakan :
1.    Sesuatu yang diyakini kebenarannya dan mendorong orang untuk mewujudkannya.
2.    Produk social yang diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya.
3.    Sebagai standar konseptual yang relative stabil yang membimbing individu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.
Spranger menggolongkan nilai ke dalam enam jenis nilai, yaitu :
1.    Nilai teori atau nilai keilmuan
Adalah nilai yang mendasari perbuatan seseorang berdasarkan pertimbangan rasional.
2.    Nilai ekonomi
Adalah nilai yang mendasari perbuatan atas dasar pertimbangan untung rugi atau financial.
3.     Nilai social atau solidaritas
Tidak memperhitungkan laba atau rugi terhadap dirinya yang penting dia dapat melakukannya untuk kepentingan orang lain dan menimbulkan rasa puas pada dirinya.


4.    Nilai agama
Atas dasar pertimbangan kepercayaan bahwa sesuatu itu benar menurut agama dan merasa berdosa jika tidak berbuat sesuai yang disyariatkan agama
5.    Nilai seni
Atas dasar pertimbangan  rasa keindahan atau rasa seni yang terlepas dari berbagai pertimbangan material.
6.    Nilai Politik
Atas dasar pertimbangan baik-buruknya untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya.Remaja sebagai individu maupun sebagai komunitas masyarakat memiliki nilai-nilai yang dianutnya. Nilai yang dianut remaja tersebt dapat dipengaruhi oleh posisi kehidupan mereka, apakah kehidupan secara modern atau secara tradisional. Nilai yang dianutnya akan berpengaruh terhadap prilaku remaja tersebut.
Nilai-nilai kehidupan yang perlu diinformasikan dan selanjutnya dihayati oleh para remaja tidak terbatas pada adat kebiasaan dan sopan santun saja, namun juga seperangkat nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila misalnya nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan, nilai-nilai estetik, nilai-nilai etik, dan nilai-nilai intelektual dalam bentuk-bentuk sesuai  dengan perkembangan  remaja.
Pengertian Kenakalan Remaja Kenakalan remaja adalah tingkah laku individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan pendapat umum yang dianggap sebagai acceptable dan baik oleh suatu lingkungan atau hokum yang berlaku di suatu masyarakat yang berkebudayaan (Sofyan,2005:89). Menurut Kartono, ilmuwan sosiologi “Kenakalan Remaja atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah juvenile delinquency merupakan gejala patologis sosial pada remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang”. Menurut SantrockKenakalan remaja merupakan kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara sosial hingga terjadi tindakan kriminal.”
Bentuk-bentuk Kenakalan Remaja Adapun bentuk-bentuk dari kenakalan remaja adalah :
a.    Kebut-kebutan dijalanan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan membahayakan jiwa serta orang lain
b.    Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan dan kadang-kadang pergi ke pasar untuk bermain game
c.    Memakai dan menggunakan bahan narkotika bahkan hal yang mereka anggap ringan yakni minuman keras.
d.    Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan, seperti permainan domino, remi dan lain-lain.
e.    Perkelahian antar geng, antar kelompok, antar sekolah, sehingga harus melibatkan pihak yang berwajib.

Penyebab Kenakalan Remaja adalah :
a.      Faktor Internal (Dalam)
1)    Reaksi frustasi diri. Dengan semakin pesatnya usaha pembangunan, modernisasi yang berakibat pada banyaknya anak remaja yang tidak mampu menyesuaikan diri terhadap berbagai perubahan sosial itu. Mereka lalu mengalami banyak kejutan, frustasi, ketegangan batin dan bahkan sampai kepada gangguan jiwa.
2)    Gangguan pengamatan dan tanggapan pada anak remaja. Adanya gangguan pengamatan dan tanggapan di atas sangat mengganggu daya adaptasi dan perkembangan pribadi anak yang sehat. Gangguan pengamatan dan tanggapan itu, antara lain : halusinasi, ilusi dan gambaran semua. Tanggapan anak tidak merupakan pencerminan realitas lingkungan yang nyata, tetapi berupa pengolahan batin yang keliru, sehingga timbul interpretasi dan pengertian yang salah. Sebabnya ialah semua itu diwarnai harapan yang terlalu muluk, dan kecemasan yang berlebihan.
3)    Gangguan berfikir dan intelegensi pada diri remaja. Berfikir mutlak perlu bagi kemampuan orientasi yang sehat dan adaptasi yang wajar terhadap tuntutan lingkungan. Berpikir juga penting bagi upaya pemecahan kesulitan dan permasalahan hidup sehari-hari. Jika anak remaja tidak mampu mengoreksi pekiran-pekirannya yang salah dan tidak sesuai dengan realita yang ada, maka pikirannya terganggu.
4)    Gangguan perasaan pada anak remaja. Perasaan memberikan nilai pada situasi kehidupan dan menentukan sekali besar kecilnya kebahagiaan serta rasa kepuasan. Perasaan bergandengan dengan pemuasan terhadap harapan, keinginan dan kebutuhan manusia. Jika semua tadi terpuaskan, orang merasa senang dan bahagia.
b.      Faktor Eksternal (Luar)
Selain faktor dari dalam ada juga faktor yang datang dari luar anak tersebut, antara lain :
1)    Keluarga Tidak diragukan bahwa keluarga memegang peranan penting dalam pembentukan pribadi remaja dan menentukan masa depannya. Mayoritas remaja yang terlibat dalam kenakalan atau melakukan tindak kekerasan biasanya berasal dari keluarga yang berantakan, keluarga yang tidak harmonis di mana pertengkaran ayah dan ibu menjadi santapan sehari-hari remaja. Bapak yang otoriter, pemabuk, suka menyiksa anak, atau ibu yang acuh tak acuh, ibu yang lemah kepribadian dalam arti kata tidak tegas menghadapi remaja, kemiskinan yang membelit keluarga, kurangnya nilai-nilai agama yang diamalkan dll semuanya menjadi faktor yang mendorong remaja melakukan tindak kekerasan dan kenakalan.
2)    Lingkungan Sekolah yang Tidak Menguntungkan Sekolah kita sampai waktu sekarang masih banyak berfungsi sebagai “sekolah dengar” daripada memberikan kesempatan luas untuk membangun aktivitas, kreativitas dan inventivitas anak. Dengan demikian sekolah tidak membangun dinamisme anak, dan tidak merangsang kegairahan belajar anak. Selanjutnya, berjam-jam lamanya setiap hari anak-anak harus melakukan kegiatan yang tertekan, duduk, dan pasif mendengarkan, sehingga mereka menjadi jemu, jengkel dan apatis.
3)    Media elektronik Tv, video, film dan sebagainya nampaknya ikut berperan merusak mental remaja, padahal mayoritas ibu-ibu yang sibuk menyuruh anaknya menonton tv sebagai upaya menghindari tuntutan anak yang tak ada habisnya. Sebuah penelitian lapangan yang pernah dilakukan di Amerika menunjukkan bahwa film-film yang memamerkan tindak kekerasan sangat berdampak buruk pada tingkah laku remaja. Anak yang sering menonton film-film keras lebih terlibat dalam tindak kekerasan ketika remaja dibandingkan dengan teman-temannya yang jarang menonton film sejenis. Polisi Amerika menyebutkan bahwa sejumlah tindak kekerasan yang pernah ditangani polisi ternyata dilakukan oleh remaja persis sama dengan adegan-adegan film yang ditontonnya. Ternyata anak meniru dan mengindentifikasi film-film yang ditontonnya.
4)    Pengaruh pergaulan Di usia remaja, anak mulai meluaskan pergaulan sosialnya dengan teman-tema sebayanya. Remaja mulai betah berbicara berjam jam melalui telefon. Hubungan sosial di masa remaja ini dinilai positif karena bisa mengembangkan orientasi remaja memperluas visi pandang dan wawasan serta menambah informasi, bahkan dari hubungan sosial ini remaja menyerap nilai-nilai sosial yang ada di sekelilingnya. Semua faktor ini menjadi penyokong dalam pembentukan kepribadiannya dan menambah rasa percaya diri karena pengaruh pergaulan yang begitu besar pada diri remaja, maka hubungan remaja dengan teman sebayanya menentukan kualitas remaja itu. Kalau ini disadari oleh remaja, maka dengan sadar remaja akan menyeleksi teman pergaulannya

2.2  Pentingnya Penanaman Nilai dan Moral Ajaran Agama bagi Pengendalian Kenakalan Remaja
Setiap orang tua memiliki tanggung jawab moral untuk mendidik anak-anaknya sesuai dengan agama dan keyakinan yang ia anut. Oleh karena itu, orang tua memiliki kewajiban mengarahkan anak-anaknya untuk berperilaku sesuai dengan agama yang dianutnya.
Apabila proses penanaman nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung dalam ajaran agama dapat ditanamkan sejak dini kepada diri anak-anak, maka ia akan memiliki sikap mental yang kokoh, sehingga tidak tergiur untuk melakukan perilaku menyimpang meskipun dalam situasi yang sangat sulit. Sebab salah satu ciri khas orang yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah kuat dan tabah menghadapi berbagai cobaan dan tetap bersandarkan kepada kekuasaan Tuhan dalam bentuk tetap taat menjalankan perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya.
Kontras tajam antara ajaran dan teladan nyata dari orang tua, guru di sekolah, dan tokoh-tokoh panutan di masyarakat akan memberikan pengaruh yang besar kepada sikap, perilaku, dan moralitas para remaja. Kurang adanya pembinaan moral yang nyata dan pudarnya keteladanan para orangtua ataupun pendidik di sekolah menjadi faktor kunci dalam proses perkembangan kepribadian remaja. Secara psikologis, kehidupan remaja adalah kehidupan mencari idola. Mereka mendambakan sosok orang yang dapat dijadikan panutan. Segi pembinaan moral menjadi terlupakan pada saat orang tua ataupun pendidik hanya memperhatikan segi intelektual. Pendidikan disekolah terkadang terjerumus pada formalitas pemenuhan kurikulum pendidikan, mengejar bahan ajaran, sehingga melupakan segi pembinaan kepribadian penanaman nilai-nilai pendidikan moral dan pembentukan sikap.
Berdasarkan hasil survey Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Kita dan Buah hati menunjukkan bahwa 67% siswa SD pernah mengakses pornografi melalui media komik dan internet. Survey yang dilakukan meliputi 2.818 siswa SD kelas 4-6 di Indonesia sejak Januari 2008 s/d Februari 2010. Akibat labih jauh dari minimnya pendidikan agama sejak SD, maka perilaku menyimpang di usia SMP semakin meningkat. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak merils data bahwa 62,7% remaja putri SMP di Indonesia sudah tidak perawan. Hasil lain, ternyata 93.7% siswa SMP dan SMA pernah berciuman, 21,2% remaja SMP mengaku pernah aborsi dan 97% remaja SMP dan SMA pernah melihat film porno. Kenyataan ini seharusnya menyadarkan kita untuk membekali anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) khususnya dengan dasar ilmu agama yang layak. Salah satu lembaga pendidikan yang cukup kompeten memberikan bekal pengetahuan agama bagi anak-anak maupun remaja diantaranya adalah MD (Madrasah Diniyah) dan TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur’an). Namun pada kenyataannya selama ini, mayoritas orang tua yang memiliki anak usia SD maupun anak remaja memandang sebelah mata bahkan tidak peduli dengan lembaga-lembaga pendidikan agama tersebut karana menganggap tidak punya jaminan masa depan, padahal lembaga-lembaga tersebut adalah lembaga pendidikan agama Islam yang menanamkan prinsip-prinsip dasar ajaran agama Islam, namun mereka lebih mementingkan pendidikan umum bagi anak-anak mereka yang lebih mementingkan pendidikan keduniawian semata.
Pada dasarnya pendidikan mempunyai peran yang sangat urgen untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu bangsa dan pendidikan juga dijadikan sebagai tolak ukur kemajuan suatu bangsa tersebut, sebab pendidikanlah yang mencetak sumber daya manusia, yang pada prinsipnya sebagai penggerak pada pemerintahan, selain itu juga pendidikan menjadi cermin kepribadian masyarakat.
Suatu kenyataan yang dapat dipastikan bahwa masa remaja adalah masa yang penuh dengan kegoncangan, di samping itu disadari pula bahwa remaja mempunyai potensi yang sangat besar. Oleh karena itu, remaja sangat memerlukan pembinaan. Agamalah yang dapat membantu mereka dalam mengatasi dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan yang belum pernah mereka kenal sebelumnya yang seringkali bertentangan dengan nilai-nilai agama yang dianut oleh para orang tua atau lingkungan tempat mereka hidup. Ajaran agama Islam berintikan keyakinan (aqidah), ibadah, syariah dan akhlak yang sangat membantu dalam mengatasi kehidupan remaja yang serba kompleks. (Abd. Rahman Getteng, 1997).
Sejalan dengan berbagai fenomena pendidikan dewasa ini, sebagai akibat globalisasi yang kian merambah berbagai dimensi kehidupan, kehadiran Pendidikan Agama khususnya Agama Islam diharapkan mampu memberikan solusi terhadap berbagai persoalan-persoalan.
Pendidikan agama pada remaja ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam   kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena kehidupan duniawi dipengaruhi kepentingan akan materi, maka para remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis. Hasil penyelidikan Ernest Harms terhadap 1.789 remaja Amerika antara usia 18 – 29 tahun menunjukan bahwa 70% pemikiran remaja ditujukan bagi kepentingan : keuangan, kesejahteraan, kebahagiaan, kehormatan diri dan masalah kesenangan pribadi lainnya. Sedangkan masalah akherat dan keagamaan hanya sekitar 3,6%, masalah sosial 5.8%.
Pelaksanaan pendidikan agama yang diberikan bukan hanya menjadikan manusia yang pintar dan terampil, akan tetapi jauh daripada itu adalah untuk menjadikan manusia yang memiliki moral dan akhlakul karimah. Dengan moral dan akhlakul karimah yang dimilikinya akan mampu mengarahkan minatnya untuk terus belajar mencari ilmu.
Para ahli pendidik Islam telah sepakat bahwa maksud dari pendidikan dan pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik, tetapi maksudnya adalah mendidik akhlak dan jiwa mereka, dengan kesopanan yang tinggi, rasa fadhilah (keutamaan), mempersiapkan mereka untuk kehidupan yang seluruhnya ikhlas dan jujur.
Pendidikan agama menawarkan perlindungan dan rasa aman, khususnya bagi anak dalam menghadapi lingkungannya.
Pada akhirnya, tujuan pendidikan Islam itu tidak terlepas dari tujuan nasional yang menciptakan manusia Indonesia seutuhnya, seimbang kehidupan duniawi dan ukhrawi. Dalam AlQur’an sudah terang dikatakan bahwa manusia itu diciptakan untuk mengabdi kepada Allah Swt. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya : “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Agama merupakan salah satu faktor pengendalian terhadap tingkah laku anak-anak dan remaja. Hal ini dapat dimengerti karena agama mewarnai kehidupan masyarakat setiap hari. Pembinaan dan bimbingan melalui pendidikan agama sangat besar pengaruhnya bagi anak sebagai alat pengontrol dari segala bentuk sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari.






























BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan

Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990. Papalia dan Olds (2001) tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence).Dengan pengetahuan keagamaan mereka dapat membedakan mana yang baik mana yang buruk, mana yang dilarang dan mana yang diperintahkan, mana yang halal mana yang haram, mana yang patut diteladani dan mana yang tidak patut dicontoh.
3.2   Saran

Pentingnya pendidikan agama bagi remaja semakin membukakan mata kita bahwa sudah semestinya para pendidik (khususnya orang tua) agar lebih memperhatikan lagi betapa anak-anak didik kita mempunyai kebutuhan yang sangat besar terhadap pengetahuan dan pendidikan agama sebagai pondasi/dasar bagi mereka dalam membentuk kepribadian mereka yang sesungguhnya. Oleh karena itu maka sudah menjadi kewajiban kita semua untuk memenuhi kebutuhan itu dengan cara memberikan pendidikan agama sejak dini, dan agar orang tua bersikap lebih bijak dengan memilihkan tempat pendidikan yang tepat bagi anak-anak mereka agar dapat membantu dalam dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut. Dengan demikian diharapkan tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadap anak-anak tersebut yang hanya akan menimbulkan penyesalan dimasa mendatang.

Daftar Pustaka















LAMPIRAN
Akibat dari kurangnya ajaran nilai moran agama !

Post a Comment

Previous Post Next Post
🎓 Ingin Lanjutkan Pendidikan?

Dapatkan pendidikan kesetaraan Paket B & C dengan metode fleksibel dan berbasis digital. Ayo, wujudkan masa depan cerahmu bersama kami!