AKASIA DI DEPAN RUMAH LUSIANA
Oleh : K. Usman
Pohon akasia di halaman depan rumah Lusiana sedang berbunga lebat ketika Rapani memarkir mobil sedan hitamnya di sana, senja itu. Saat membuka pintu mobil, Rapai segera menoleh ke arah bunga akasia yang menguning. Lelaki muda berambut keriting itu turun dari mobil. Ia memandang pintu dan jendela-jendela rumah yang tertutup rapat. Angin senja yang sejuk menggoyangkan ranting dan daunan pohon.
"Sepi sekali," bisiknya sambil memandang ke sekeliling.
Seorang lelaki tua muncul dari paviliun. Ia menyapa sang tamu. Lelaki muda terkejut dan berpaling ke kiri. Ia menganggukkan kepala sambil tersenyum ramah.
"Mau ketemu siapa, ya?" sapa lelaki tua berpeci hitam itu.
"Eh-em, saya mau ketemu Lusiana. Ini Mang Agus, ya?"
"Ya, "jawab lelaki tua itu heran. "Anda ini siapa?" tanyanya.
"Wah! Mang agus sudah lupa. Saya ini Rapani, Mang!"
"Oh! Nak Rapani? Sudah lama sekali tidak ke sini-sini. Ke mana saja?"
"Selama ini saya di Jayapura, Papua, ikut orangtua tugas di sana. Saya kuliah di Universitas Cendrawasih. Setelah orangtua pensiun, kami balik lagi ke Jakarta," jawab Rapani. "Pada ke mana sepi amat Mang?"
"Rumah gede ini sudah tiga tahun kosong," Jawab Mang Agus. "Hanya saya dan istri menunggu paviliun samping. Tugas kami bersih-bersih dan jaga rumah," cerita Mang Agus.
"Lusiana pindah ke mana, Mang?" tanya Rapani
"Kan kuliah di Australia."
"Oh! Sudah lama?"
"Sudah."
"Setelah Bapak Danu pensiun, bersama Ibu pindah ke Bandung. Kalau lagi libur, Non Lusi ke Bandung juga. Rumah ini kata Bapak Danu dan Ibu Wati terlalu bersar untuk berdua. Saya dengar, rumah gede ini akan dijual tahun depan, "cerita Mang Agus. "Mampir dulu! Cerita-cerita di dalam sambil ngeteh'kan lebih santai. Masih ingat pada Bik Tanti, istri saya 'kan?"
"Tentu ingat, Mang Agus," jawab Rapani sambil mengangguk. Lalu dia menoleh ke arah pohon akasia. Bunga-bunga kuning berguguran. Serangga bersayap berkerumunan di gerumbul bunga. Ke mana bangku kayu di bawah akasia itu? Rapani bertanya di dalam hati.
Dahulu, Rapani dan Lusiana sering duduk di bangku bambu di bawah naungan pohon akasia itu bila panas matahari siang menyengat. Saat itu, Rapani dan Lusiana masih duduk di bangku SMA. Lusiana kelas duan dan Rapani kelas tiga. Seakan terdengar kembali tawa renyah Lusiana di gendang telinga Rapani. JUga seakan terdengar bunyi denting piring bila Lusiana menyiapkan rujak buah. Tiba-tiba, Rapani merasakan ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang hilang itu menindih hatinya. Lalu, dia merasa sedih.
"Lama sekali Nak Rapani tidak kesini, ya?" kata Mang Agus setelah Rapani duduk di ruang tamu paviliun.
"Ya, Mang, memang lama sekali saya tidak ke sini."
"Sekolah di Jayapura, setelah tamat SMA?"
"Ya, Mang," jawab Rapani sambil menundukan kepala. Ia merenungkan hari-hari silam bersama Lusiana yang periang. Ceplas-ceplos gadis jangkung itu kalau bicara. Persahabatan mereka mesra dan membahagiakan. Entah mengapa, Rapani cemburu dan marah pada Lusiana, saat Tio muncul. Sepupu jauh Lusiana itu lama kuliah di Australia, tanpa sungkan-sungkan, dia mencium Lusiana di depan Rapani. Mak, Rapani naik pitam dan menuduh Lusiana macam-macam karena cemburu.
Salah lagi aku. Dosa aku membohongi orangtuaku. Makanya beberapa hari yang lalu, saya terus terang kepada ayah dan ibu. Aku harus segera memperbaiki persahabat dan silaturahmi yang rusak dengan Lusiana setelah tiba kembali di Jakarta.
"Sekarang, saya datang, Mang. Tapi Lusiana tidak ada di rumah."
"Bisa lewat telepon, buka?" ujar Mang Agus.
"Ya, bisa, Mang Agus punya telepon Lusiana di Sydney, Australia?"
"Mak! Tolong Ambilkan buku telepon!" Mang Agus memanggil Bik Tanti.
Sementara Rapani mencatat nomor telepon genggam dan telepon di apartemen Lusiana, Mang Agus mengatakan, dalam waktu dekat Non Lusiana akan berlibur ke Bali. Sebelum ke Pulau Dewata itu, dia akan tinggal di Jakarta beberapa hari.
"Kapan berita itu Mang Agus terima?" tanya Rapani gembira.
"Kemarn malam. Makanya saya dan Bik Tanti bersih-bersih kamar Non Lusiana sejak pagi tadi. Bik Tanti sudah memasak pepes ikan emas, kesukaan Non Lusiana," cerita Mang Agus.
"Bersama siapa Lusiana dari Sydney, Mang Agus?" tanya Rapani.
"Biasanya sendiri."
Rapani ingin menanyakan apakah Lusiana pulang ke tanah air bersama Tio, kakak sepupu jauh Lusiana itu? Tetapi, pertanyaan itu hanya menggema di dalam hatinya. Ia membayangkan, Lusiana telah bertunangan dengan Tio, kakak sepupu jauhnya itu. Atau bisa jadi mereka telah menikah. Banyak mahasiswa dan mahasiswi yang menikah sambil menyelesaikan kuliah, pikir Rapani.
"Apakah den Rapani pernah menghubungi non Lusiana?" tanya Bik Tanti.
"Tidak pernah, Bik Tanti," Jawab Rapani. "Beberapa hari setelah tiba di jayapura saya nyesal', Bik." Suara Rapani sangat perlahan. "Ketika marah pada Lusiana dulu, saya menurutkan gelora darah muda. Saya kehilangan kontrol. Saya semberono sekali saat itu. Saya begitu bodoh!"
"Ssst!" Mang Agus mendesiskan suara di bibirnya. "Mang Agus paham, kok. Papa dan mama Lusiana lebih paham lagi. Keduanya sempat menasihati Non Lusiana agar minta maaf pada Nak Rapani. Pernahkah Lusiana minta maaf?"
"Tidak, Mang. Tapi, tidak wajib Lusiana minta maaf pada saya. Saya yang salah, Mang. Sama jaga gengsi. Saya sendiri tidak minta maaf. Saya kerdil sekali ketika itu, Mang," Rapani kembali menyesali sikap tergopoh-gopohnya dulu.
"Ya, kayak pepaatah lama sesal kemudian tiada berarti," bisik Mang Agus. "Tapi salah juga jika tidak menyesali kesalahan masa lalu, buka?"
"Benaar, Mang. Saya menyesaaaal sekali," ujar Rapani. "Itu tadi gengsi juga yang membuatku bertahan untuk tidak minta maaf, tidak menelepon, dan tidak menyurati Lusiana begitu lama. Ayah dan ibu berulang-ulang menanyakan, bagaimana hubungan saya dengan Lusiana."
"Lalu, Nak Rapani bilang apa pada bapak dan ibu?"
"Saya bilang, baik-baik saja hubunganku dengan Lusiana. Padahal, tidak begitu sesungguhnya. Jadi, aku telah berbohong. Mang."
Ketika akan meninggalkan rumah Lusiana, menjelang maghrib itu, Rapani berkata kepada Mang Agus, nanti malam akan menelepon Lusiana di Sydney.
* * * *
"Hai!" teriak Lusiana ketika mendengar suara Rapani di telepon genggamnya. "Masih hidup kamu, Pani? Kukira kamu sudah mati kena serangan hipertensi! Apa kabar, ehem?"
"Alhamdulillah, baik-baik saja. Kamu sehat Lusi?" tanya Rapani.
"Syukur Alhamdulillah aku sehat walafiat," jawab Lusiana di seberang sana.
"Aku rindu sekali padamu, Lusi," kata Rapani setengah merayu.
"Sama. Aku juga rindu pada kamu, Pani!"
"Tapi, Sydney jauh dari Jakarta. Apakah aku harus terbang ke sana? Tapi, aku bukan kupu-kupu, bukan elang, bukan merpati. Aku tidak punya sayap. Bagaimana?"
"Tidak perlu kamu punya sayap untuk menemuiku. Kamu tahu aku dimana sekarang?" tanya Lusiana sambil terkikik.
"Di mana kamu, Lusi?"
"Di sini!" jawab Lusiana. Tawanya makin kencang.
"Di sini mana?" desak Rapani
"Di Jalan percetakan Negara lima romawi nomor tujuh puluh enak, tau?"
"Ah, yang benar? Kapan sampai di Jakarta?"
"Setengah jam setelah kamu pamit pada Mang Agus dan Bik Tanti, aku sampai di rumah."
"Bersama siapa?"
"Bersama siapa? Ya Sendiri! Kamu masih cemburu pada Tio, kakak sepupu jauhku itu, ya?" tebak Lusiana sambil tertawa riang.
"Ya!" jawab Rapani tegas. "Tapi, sebelum terlambat, aku mau minta maaf atas segala ketergopohanku dan kecerobohanku dulu, Lusi. Maafkan aku, ya? Aku juga minta maaf pada Abang Tio," lanjut Rapani.
"Abang Tio sudah seminggu di Jakarta. Kamu bisa minta maaf langsung padanya tanpa perantara, kok! Abang Tio ke Jakarta dalam rangka pernikahannya," sambung Lusiana. "Setelah menikah, dia akan berbulan madu ke Bali."
"Dengan siapa dia akan menikah?" Dag, dig, dug hati Rapani. Sambil bertanya jantung Rapani berdebar kencang.
"Pada waktunya nanti kamu akan tahu sendiri, Pani! Undangan untuk kamu, akan kuserahkan langsung pada kamu! Sekarang ini, undangan itu sudah ada di rumahku."
"Rapani terdiam beberapa detik. Lalu, dia bilang, pagi-pagi sekali akan menemui Lusiana di rumahnya, sekiranya tidak mengganggu.
"Insya Allah, tidak mengganggu," tukas Lusiana.
"Mumpung akasia sedang berbunga, Lusi," kata Rapani, sebelum memutus pembicaraan dan mengucapkan assalamu'alaikum."
"Ya, deh! Sampai besok. Waalaikumsalam," jawab Lusiana.
* * * *
Setelah selesai sarapan pagi, atas permintaan Lusiana, mang Agus menaruh bangku bersandaran besi di bawah pohon akasia.
"Ini 'kan bangku besi yang dulu, ya Mang?" tanya Lusiana.
"Ya, Non, yang dulu. Sejak Non pergi, bangku ini masih tetap bagus," Mang Agus memuji hasil kerjanya sendiri.
"Ya, siapa pula yang memeliturnya dulu!" puji Lusiana
Mang Agus sangat senang mendapat pujian dari anak tunggal majikannya itu. Semakin dewasa Lusiana semakin arif, pikir lelaki separuh baya itu.
"Meja kecil ini ditaruh di mana?" tanya Bik Tanti sambil mengangkat meja oval kecil berlapis marmer.
"Di depan bangku itu saja, Bik!" kata Lusiana.
Pagi itu sangat cerah. Beberapa kuntum bunga akasia menyangkut di rambut Lusiana. Warna kuning di antara rambut hitam yang mencolok. Segera Bik Tanti minta maaf. Dia memungut bunga-bunga akasia yang gugur di rambut Lusiana.
Sepuluh menit setelah Mang Agus dan Bik Tanti meninggalkan pohon akasia, mobil sedan hitam memasuki halaman yang luas dan hijau asri itu. Rapani segera membuka kaca mobil. Dia mengucapkan, assalamu'alaikum kepada Lusiana.
"Apakah aku terlambat?" tanya Rapani sambil turun dari mobil.
"Pukul delapan tepat!" sahut Lusiana.
Setelah mengobrol beberapa menit, Lusiana pamit sebentar. Katanya untuk mengambil undangan ke kamarnya. Tambah berdebar kencang jantung Rapani. Dia menyangka, Lusiana akan membuat kejutan tentang pernikahannya dengan Sebastiono alis Tio. Rapani gelisah di bawah naungan pohon akasia yang berbunga lebat musim ini. Seekor burung kecil hinggap di dahan akasia tetap cepat terbang ke dahan mangga di samping rumah.
Dari jauh Lusiana mengibar-ngibarkan undangan luks di tangannya. Riang sekali dia pagi itu. Debar di dalam dada Rapani semakin kencang.
"Lusiana akan balas dendam?" bisik Rapani dalam hati.
"Coba kamu terka, siapa calon istri Abang Tio?" tanya Lusiana setelah duduk kembali di bangku sandaran besi antik.
"Aku tidak tahu," sahut Rapani. "Tapi tahukah Lusi mengapa jantungku berdebar-debar sejaku kamu bercerita tentang undangan dari Abang Tio?" tanya Rapani.
"Memangnya aku tukang ramal? Mana aku tahu, memang kamu spot jantung!"
"Aku khawatir kehilangan kamu lagi, Lusi!"
"Memangnya kenapa kalau kehilangan aku?" Tawa Lusiana makin menjadi-jadi.
"Aku akan hancur, Lusi."
"Huuu! Rayuan gombal! Empat tahun kamu tanpa aku, nyatanya tak apa-apa, bukan? selama jauh dari aku sudah berapa gadis cantik dan pintar yang berlabuh di hati kau, hem?"
Rapani menggeleng
"Tidak mungkin!"
"Sungguh, Lusi. Empat tahun aku menjomlo. Aku memusatkan seluruh perhatian pada kuliah. Tekatku meraih gelar sarjana hukum dengan nilai setinggi mungkin dalam waktu cepat," cerita Rapani.
"Hasilnya?" tanya Lusiana.
"Aku berhasil meraih gelar sarjana hukum dengan cumlaude, dengan pujian. Syukur alhamdulillah."
"Selamat, ya? Lusiana menyalami Rapani. "Tapi, kuharap, undangan ini tidak akan menyebabkan kamu mati karena serangan jantung, ya?" Lusiana menyerahkan undangan di tangannya.
"Agak lama Rapani mengamati undangan berwarna pink di tangannya.
"Siapa Lucy Adam Dewi, calon istri Abang Tio?" tanya Rapani.
"Terkalah!"
"Kamu, ya? ujar Rapani
"Kalau aku, kenapa?"
"Habislah aku, Lusi!" teriak Rapani.
"Untung bukan kau," kata Lusiana.
"Lucy Andam Dwi adalah putri diplomat kita Di Australia. Gadis berdarah Minang itu adalah pacar lama Abang Tio," Lusiana meneruskan ceritanya.
"Alhamdulillah," ucap Rapani sambil memegang dada bidangnya.
"Jadi, kamu tidak habis?" tanya Lusiana.
"Syukur Alhamdulillah, tidak!" jawab Rapani
Saat itu pula beberapa kuntum bunga akasia gugur dan menyangkut di rambut Lusiana. Segera Rapani memungut kuntum-kuntum dirambut hitam, lebat dan wangi itu. Dia merasakan deru nafas hangat Lusiana menerpa lembut lehernya.
------------------------------ Tamat ---------------------------
Sumber: Majalah Aneka Yss, No. 19. 19 September - 2 Oktober 2005