Judul : Lantaran Dimadu - Satu Tragedi dalam Rumah Tangga Tionghoa di Bandung
Penulis : Kwee Boen Hoey
Penyunting : Andrias Arifin
Penerbit : Katarsis Book
Cetakan : I, Maret 2021
Tebal : x + 94hlm; 13x19cm
Di paruh pertama abad ke-20 untuk mengatur masalah pernikahan bagi orang-orang Eropa di Hindia Belanda dibuatlah sebuah Undang-Undang Pernikahan yang juga berlaku atas orang-orang Tionghoa. Undang-undang tersebut tidak mengizinkan seorang pria memiliki lebih dari satu istri. Jika seorang suami kedapatan memiliki istri lebih dari satu maka akan mendapat hukuman badan selama-lamanya 5 tahun. Walau peraturan sudah dibuat namun sepertinya masih banyak pria yang melanggarnya. Atas dasar itulah Kwee Boen Hoey menulis sebuah novel pendek yang terbit pada tahun 1927
"LANTARAN DIMADOE" atau "Satoe Tragedy dalem rumah tangga Tionghoa" saya
tulis untuk menjadi satu penerangan bagi siapa saja yang berada di
dalam pengalaman-pengalaman itu yang termaksud dalam penuturan di atas,
yang sampai hari ini masih banyak terdapat di dalam kalangan rumah
tangga Tionghoa di Djawa Koeloen dan yang telah membuat rusak keananan
rumah tangga yang tadinya telah didirikan dengan keagungan dan berakhir
dengan ratapan dan banjir air mata.
Di dalam buku ini saya akan menunjukkan dengan tegas tentang bagaimana sifat lelaki yang hidup dengan dua istri atau lebih, dan tentang perasaan-perasaan istri yang dimadu dan menjadi madu, tentang bagaimana perihnya hati yang terluka...
Novel Lantaran Dimadu diawali
dengan suasana kota Bandung tempo dulu saat diterjang hujan badai. Hal ini seolah
menjadi suatu isyarat bahwa untuk selanjutnya pembaca akan dibawa pada sebuah
kisah badai kehidupan dalam rumah tangga yang terjadi akibat istri yang dimadu oleh suaminya.
Dikisahkan Eng Nio adalah seorang wanita cantik yang
berasal dari keluarga peranakan Tionghoa (Orang Tionghoa yang lahir di Indonesia) yang kurang beruntung secara ekonomi.
Ketika Lian Hie,seorang Hokchia totok (orang Tionghoa yang lahir di Tiongkok) yang mengaku sebagai pemilik toko emas di
Pasarbaru Bandung melamarnya, tanpa pikir panjang orang tua Eng Nio menerima
lamaran tersebut.
Rupanya perbedaan adat antara
seorang peranakan dengan Hokchia totok berpengaruh pada kehidupan rumah tangga mereka.
Kehidupan antara Eng Nio dengan suaminya sangat bertentangan. Bukan
saja dalam caranya ia punya pergaulan, tapi juga dalam adat istiadatnya
mempunyai perbedaan-perbedaan yang dirasa tidak mengenakkan. Tapi lantarang
mengingat bahwa orang itu sekarang sudah menjadi suaminya, seberapa besar Eng
Nio berusaha buat menyesuaikan dirinya….. (hlm 36)
Di tahun ketiga pernikahannya Eng
Nio semakin jarang mendapat kasih sayang dari suaminya yang setiap malam kerap
keluar rumah untuk mencari kesenangan sendiri. Eng Nio tidak bisa mencegahnya
karena menurut tradisi Tionghoa saat itu seorang perempuan harus menurut
terhadap suaminya.
Sementara Eng Nio sibuk dengan
urusan toko emas, Lian Hie semakin sibuk dengan dunianya sendiri. Eng Nio
ditinggal sendirian di rumah dan baru pulang tengah malam atau hampir fajar.
Hal ini terus terjadi hingga Lian Hie secara mendadak mengutarakan maksudnya
untuk pulang ke Tiongkok untuk menengok keluarganya disana.
Sebagai istri yang taat pada
suaminya, Eng Nio tidak bisa menolak permintaan suaminya walau ia merasa khawatir
kalau kelak suaminya pulang dari Tiongkok ternyata membawa pulang seorang
perempuan. Kekhawatiran Eng Nio menjadi
kenyataan, setelah Eng Nio dengan sabar
menunggu selama 4 tahun tanpa kabar, Lian He,
suaminya pulang dengan membawa seorang perempuan Tiongkok yang telah dinikahinya di Tiongkok
Apa yang dilakukan suaminya
membuat Eng Nio terluka, apalagi ternyata perempuan yang telah dinikahi
suaminya itu memperlakukan Eng Nio secara semena-mena. Disinilah
kemudian penulis mengeksplorasi keresahan hati berserta penderitaan fisik dan
psikis dari seorang wanita yang dimadu.
Bukan Sekedar Kisah Pilu
Lalu apa yang bisa kita peroleh
dari novel pendek yang terbit 90 tahun
yang lalu ini? Apakah sekedar kisah pilunya derita seorang wanita lantaran
dimadu? Dalam bab Permulaan Kata
(Kata Pengantar) penulis menyuguhkan Undang-undang pernikahan bagi orang
Tionghoa di Hindia yang menyatakan bahwa
seorang pria hanya boleh menikah dengan satu perempuan dan fasal-fasal mengenai
hukuman penjara jika kedapatan seorang
pria beristri lebih dari satu.
Selain tentang Undang-undang
pernikahan, Jika kita cermati lebih dalam lagi ada beberapa hal yang bisa kita
dapatkan, antara lain tentang kondisi sosial budaya masyarakat Tionghoa,
khususnya di Bandung di paruh pertama
abad ke-20
Dari novel pendek ini kita bisa
melihat di masa itu profesi apa yang biasa dijalankan orang-orang Tionghoa.
Yang mungkin telah menjadi streretoip orang Tionghoa hingga kini adalah profesi
sebagai pedagang. Di novel inipun kita
akan melihat bahwa beberapa tokohnya adalah pedagang, mulai dari pedagang emas
di toko hingga pedagang minyak dan tembakau keliling.
Pedagang pikulan keliling inilah yang sekarang sepertinya sudah tidak dilakukan lagi oleh para pedagang Tionghoa.
Pedagang pikulan keliling Tionghoa
Selain berdagang barang, orang
Tionghoa juga ada yang ‘dagang uang’ khususnya
dari suku Hokchia yang umumnya berprofesi sebagai tukang pinjam uang.
Dalam novel ini terdapat tokoh seorang
Tionghoa Hokchia yang meminjamkan uang dengan bunga yang tinggi atau dimasa itu dikenal sebagai orang yang
meminjamkan uang panas
Untuk urusan perjodohan,
terungkap pula profesi wanita Tionghoa sebagai mak comblang atau jika dalam novel ini disebut sebagai cengkauw. Sepertinya di masa itu peran
seorang cengkauw dalam urusan
perjodohan memegang peranan penting. Melalui jasa cengkauw itulah para pria Tionghoa berusaha untuk melamar Eng Nio.
Novel ini juga mengungkap tentang
perilaku dan kebiasaan orang Tionghoa
totok dan orang Tionghoa
peranakan yang ternyata memiliki perbedaan yang tidak mengenakkan
khususnya ketika itu terjadi dalam hal
hubungan pernikahan.
Sebagai seorang peranakan yang hidup sedari kecil dibawah pengaruh yang
terdapat di sekitar dirinya, waktu baru menikah dirasakan kehidupan antara Eng
Nio dan suaminya sangat bertentangan. Bukan saja dalam caranya ia punya
pergaulan, tapi juga dalam adat istiadatnya mempunyai perbedaan-perbedaan yang
tidak mengenakkan…..adat kelakuan dan kebiasaan suaminya sebagaimana umumnya
kehidupan orang-orang Hokchia ada perbedaan dengan adat kehidupan orang-orang
Tionghoa peranakan terhadap istri dan orang tuanya. (hlm 35-36)
Selain itu novel ini juga mengungkapkan anggapan umum
dimasa itu bahwa bukan hal yang aneh jika seorang Tionghoa totok membawa pulang
wanita Tiongkok ketika ia kembali ke Jawa.
…kebanyakan orang Tionghoa totok kalau pulang ke Tiongkok, kalau
pulangnya suka bawa perempuan lain sebagi istrinya.. (hlm 45)
Masih banyak hal-hal menarik yang
bisa diambil dari novel ini. Yang tak
kalah menariknya adalah sejumlah wejangan singkat dari penulis yang disisipkan dalam kisahnya
yang beberapa diantaranya mengutip dari falsafah kehidupan Tionghoa dan Barat sehingga pembaca akan
mendapat pelajaran kehidupan dari kisah derita seorang wanita yang dimadu.
Novel ini pertama kali terbit pada tahun 1927
oleh penerbit Boelan Poernama, Bandoeng dengan Judul “Lantaran Dimadoe, Satoe Tragedy Dalem Roemah Tangga Tionghoa. Empat
tahun kemudian novel ini diterbitkan lagi oleh Drukerij Litera, Bandoeng.
Kini novel yang aslinya ditulis
dalam bahasa melayu pasar dengan ejaan lama/ Van Ophuysen ini diterbitkan ulang dengan dengan menggunakan kalimat yang sesuai dengan
aslinya namun dengan Ejaan yang
disempurnakan (EYD).
Di edisi yang terbaru ini
penerbit menambahkan kalimat “di Bandung” di sub judulnya sehingga menjadi Lantaran Dimadu – Suatu Tragedi dalam Rumah
Tangga Tionghoa di Bandung. Penambahan ini tidaklah mengada-ngada karena
novel ini memang settingnya di Bandung, di dalamnya kita akan menemukan jalan
Tjibadakweg, Pasar Baroe, Tjitepoes, dan
bursa tahunan Jaarbeurs yang sangat terkenal di masa itu.
Untuk istilah-istilah asing yang
untuk saat ini sudah jarang atau tidak pernah digunakan, penerbit menyertakan
penjelasan di catatan kakinya. Ada satu hal yang perlu dikoreksi yaitu kalimat toonnel komedie. Kalimat ini pada
catatan kakinya diartikan sebagai komedi putar, roller coaster, padahal arti sebenarnya adalah sandiwara atau
teater.
Satu hal lagi yang mungkin perlu
dikoreksi, jika di naskah awalnya setiap bab diawali dengan nomor menggunakan
angka romawi, di cetakan terbarunya angkanya dihilangkan. Padahal dibeberapa
kalmat pembuka antar bab penulis merujuk pada nomor babnya. Contohnya :
Satu bulan telah lewat dari apa yang dibicarakan di bagian ke II…. (hlm24)
Jalannya walau begitu cepat zonder terasa sudah tiga tahun lewat dari
apa yang dibicarakan di bagian IV.. (hlm 46)
Mungkin sebaiknya nomor di judul
tiap bab-nnya tidak dihilangkan sesuai dengan naskah aslinya.
Selain itu ada perbedaan penerbit dan tahun penerbitan keterangan cetakan pertama dari novel ini. Dihalaman kolofon cetakan terbarunya tertulis bahwa novel ini pertama kali diterbitkan oleh Drukerij Litera, Pakoewan Soemedangweg 89 Bandoeng, 1931. Sedangkan menurut katalog online Perpustakaan Nasional novel ini diterbitkan oleh Boelan Poernama, Bandoeng 1927.
Terlepas dari hal diatas,
diterbitkannya kembali buku yang mungkin sudah dilupakan banyak orang ini patut
diapresiasi dengan baik. Selain kisahnya masih relevan hingga kini, lewat novel
ini pembaca akan diajak melihat suasana
Bandung beserta adat kebiasaan orang-orang Tionghoa di masa lampau yang sedikit
banyak bermanfaat untuk pembaca umum atau peneliti kebudayaan Tionghoa peranakan
dalam menambah khazanah pengetahuian mereka tentang Bandung di paruh pertama
abad ke-20.
Tentang Penulis
Sampai resensi ini ditulis saya tidak menemukan data apapun tentang Kwee Boen Hoey. Barangkali ada teman-teman ada yang tahu profil tentang Kwee Boen Hoey bisa menginfokannya di kolom komentar atau email ke htanzil@gmail.com
@htanzil
Berikut scan dari novel ini artikel 279 dari Wetboek van Stafrecht dan artikel 284 dari Strafwetboek yang menetapkan hukuman penjara bagi suami yang beristri lebih dari satu