Membuka Peluang Kreativitas di Wilayah Tasikmalaya Selatan dan Garut Selatan

Membuka Peluang Kreativitas di Wilayah Tasikmalaya Selatan dan Garut Selatan

Tasikmalaya Selatan dan Garut Selatan. Dua nama yang mungkin jarang terdengar di pusat kota, namun di balik kesunyian alam pegunungannya, ada harapan yang perlahan tumbuh, menggapai mimpi-mimpi yang selama ini terpendam. Kecamatan Taraju, Ciawi, Bojonggambir di Tasikmalaya Selatan, dan Singajaya, Banjarwangi, Peundeuy di Garut Selatan, mungkin tak pernah kita dengar dalam berita-berita besar. Namun di sinilah, di antara sawah, ladang, dan kebun, masyarakat bertahan hidup dengan kerasnya dunia pertanian. Di sinilah pendidikan dan informasi seringkali harus berjuang menghadapi keterbatasan, terhalang oleh pegunungan dan jalanan yang belum ramah.

Masyarakat di daerah ini memang memiliki keterbatasan, terutama dalam hal pendidikan. Banyak yang hanya bisa menyelesaikan pendidikan hingga SD atau bahkan putus sekolah. Sebuah ironi di tengah arus kemajuan teknologi yang melaju cepat. Namun, meski tantangan itu terus membayangi, ada secercah harapan yang muncul. Harapan itu datang bukan dari kota besar, bukan dari gedung-gedung megah yang menjulang tinggi, tetapi dari pelatihan jurnalistik pelajar yang digagas oleh Komunitas Ngejah.

Dengan sedikitnya 150 pelajar yang mengikuti pelatihan ini, saya melihat sebuah tanda. Sebuah tanda bahwa meskipun terbatas, semangat para pelajar di wilayah pelosok ini tetap menyala. Semangat mereka untuk belajar, untuk mengeksplorasi dunia yang lebih besar dari kebun dan sawah yang mereka kenal. Semangat untuk menggali bakat yang mungkin selama ini tertidur, terbenam dalam rutinitas sehari-hari yang tak memberi ruang bagi mimpi-mimpi.

Kegiatan ini bukan hanya soal menulis atau tentang dunia jurnalistik semata. Lebih dari itu, ini adalah tentang membuka mata, membuka pikiran, dan membuka hati para pelajar untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda. Dunia yang lebih luas, lebih kompleks, dan penuh dengan peluang yang bisa mereka raih, meski tidak tinggal di kota besar. Ini adalah tentang memberikan mereka wadah untuk menyalurkan potensi yang selama ini tak pernah mendapat tempat. Menyalurkan energi mereka ke hal-hal yang lebih bermanfaat, yang bisa mengubah hidup mereka dan kehidupan orang-orang di sekitar mereka.

Sebagaimana dikatakan oleh Ayu Utami, “Cerita yang hidup adalah cerita yang membebaskan”. Di sini, para pelajar diberi kebebasan untuk berkreasi, untuk menggali cerita mereka sendiri, dan untuk menciptakan ruang bagi imajinasi mereka berkembang. Mereka diajak untuk menulis, menggambarkan dunia mereka, dan menyampaikan ide-ide kreatif yang bisa menginspirasi bukan hanya mereka, tetapi juga orang lain.

Saya juga teringat dengan kegiatan yang dilakukan pada tahun 2011, di mana Komunitas Ngejah pertama kali mengadakan pelatihan serupa, meski pada waktu itu dengan skala yang lebih kecil. Pada saat itu, hanya ada sekitar 50 pelajar yang ikut serta, namun dampaknya cukup besar bagi mereka. Pelatihan jurnalistik tersebut menjadi langkah pertama bagi mereka untuk mengenal dunia tulisan dan media, membuka cakrawala mereka tentang cara menyampaikan pendapat dan cerita dengan cara yang lebih terstruktur dan kreatif. Kegiatan di tahun 2011 ini membuka jalan bagi banyak program berikutnya yang terus berkembang hingga kini.

Saya membayangkan, jika kegiatan ini bisa dilakukan lebih sering, lebih banyak lagi pelajar yang bisa merasakan manfaatnya. Bayangkan jika lebih banyak lagi pelatihan serupa hadir di daerah-daerah pelosok, memberikan ruang bagi mereka untuk berkreasi, untuk berkarya, untuk menemukan bakat yang mungkin tersembunyi selama ini. Jika ini berhasil, maka bukan tidak mungkin, suatu hari nanti, mereka yang berasal dari pelosok pegunungan ini akan menjadi generasi yang tidak kalah cerdas dan kreatif dengan mereka yang lahir di tengah gemerlap kota besar. Mereka akan menjadi pelopor-pelopor baru dalam dunia jurnalistik, seni, dan kreativitas, yang memanfaatkan teknologi untuk menggali potensi tanpa batas.

Berbeda dengan kota-kota besar yang sering kali terjebak dalam kisah tawuran antar pelajar, wilayah seperti Tasikmalaya Selatan dan Garut Selatan justru memperlihatkan contoh berbeda. Di sini, tawuran antar pelajar hampir tidak terdengar. Tidak ada kerusuhan yang mengguncang, tidak ada saling serang di tengah jalanan. Di sini, pelajar-pelajar lebih memilih untuk belajar, untuk berkreasi, untuk mengembangkan diri. Menurut saya, ini bukan kebetulan. Ini adalah hasil dari sebuah lingkungan yang masih menjaga kedamaian, yang tidak membiarkan anak-anak muda terjebak dalam kegelisahan yang bisa berujung pada kekerasan.

Namun, saya juga percaya bahwa perubahan tidak akan datang dengan sendirinya. Pendidikan dan informasi harus menjadi prioritas. Komunitas Ngejah sudah memulai langkah besar dengan kegiatan pelatihan ini. Namun, ini harus menjadi titik awal, bukan titik akhir. Banyak hal yang masih harus dilakukan. Teknologi yang semakin berkembang harus dimanfaatkan dengan maksimal, membuka akses bagi semua pelajar di daerah pelosok untuk belajar dan berkembang.

Saya berharap, kegiatan seperti ini bisa menginspirasi lebih banyak komunitas dan pihak lain untuk turun tangan. Mengajak anak-anak muda untuk bermimpi lebih besar, untuk berani mengejar mimpi-mimpi mereka, meski harus melawan keterbatasan. Karena saya percaya, seperti yang pernah dikatakan oleh Sabda Armandio Alif, “Kita adalah generasi yang harus berani melangkah meskipun jalan kita masih gelap.” Di balik segala keterbatasan yang ada, selalu ada peluang yang menunggu untuk digapai, asalkan ada niat, ada usaha, dan tentu saja, ada keberanian untuk melangkah maju.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org
Materi PKBM Gratis

Dapatkan materi pembelajaran PKBM secara gratis. Klik tautan di bawah untuk akses penuh.