Anak: Amanah dan Buah dari Cinta

Anak: Amanah dan Buah dari Cinta

Anak: Amanah dan Buah dari Cinta

“Cinta bukanlah hanya manis di bibir dan hangat dalam rasa. Cinta sejati adalah tanggung jawab, dan anak adalah buah dari cinta itu.” – Buya Hamka

Pendahuluan: Ketika Hati Menyambut Kehadiran Seorang Anak

Hati siapa yang tak bergetar kala mendengar tangisan pertama seorang bayi? Tangisan yang bukan sekadar suara, melainkan pengukuhan akan sebuah kehadiran baru dalam hidup dua insan. Dalam islam, anak adalah anugerah. Ia bukan sekadar makhluk kecil yang lucu, melainkan amanah besar yang dipercayakan oleh Allah Swt. kepada kedua orang tuanya.

Tak sedikit orang tua yang menyambutnya dengan air mata haru. Tak jarang pula yang mengabaikan hakikat kehadirannya. Padahal, dalam setiap denyut nadi seorang anak, mengalir harapan dan takdir umat.

Bab 1: Anak dalam Perspektif Ilahi

Allah berfirman dalam QS. Ash-Shura: 49-50:

"Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki."

Anak bukan hasil rencana manusia semata. Ia hadir karena kehendak Allah. Maka, kehadirannya adalah bentuk kasih sayang Ilahi. Bahkan Rasulullah saw. menyatakan dalam haditsnya:

"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah…" (HR. Bukhari dan Muslim)

Fitrah itulah yang menjadi cerminan bahwa anak adalah cahaya, bukan beban; amanah, bukan mainan.

Bab 2: Cinta yang Melahirkan Amanah

Cinta sejati antara suami dan istri bukanlah sekadar saling pandang. Cinta sejati adalah saat keduanya saling menanggung dan menumbuhkan, dan anak adalah buah dari proses itu. Dalam cinta, lahirlah kepercayaan, dan dari kepercayaan tumbuhlah tanggung jawab.

"Cinta yang tidak melahirkan tanggung jawab adalah cinta yang semu." – Buya Hamka

Menjadi orang tua bukan sekadar status, melainkan panggilan jiwa. Maka hendaknya, mereka yang diberi anak, menyadari bahwa dalam diri anak ada hak-hak yang harus ditunaikan: hak untuk dicintai, hak untuk dididik, dan hak untuk dijadikan manusia seutuhnya.

Bab 3: Menjadi Orang Tua yang Bijak

Seorang bijak berkata, "Mendidik anak adalah mendidik diri sendiri sepuluh kali lebih keras." Sebab anak meniru, bukan mendengar. Ia melihat, bukan membaca.

Maka Buya Hamka sering menekankan, "Orang tua adalah cermin pertama dan utama bagi anak-anaknya." Bila orang tua bermalas-malasan, anak pun akan memantul sikap itu. Bila orang tua penuh adab dan ilmu, anak pun akan tumbuh dalam atmosfer yang sama.

Menjadi orang tua berarti menjadi pendidik utama, bukan penonton dalam kehidupan anak. Rumah adalah madrasah pertama. Ayah adalah kepala sekolah. Ibu adalah gurunya. Maka hendaknya rumah itu dipenuhi cinta, ilmu, dan tauladan.

Bab 4: Ujian dalam Mendidik Anak

Tak ada cinta yang tak diuji. Mendidik anak adalah ibadah sepanjang hayat. Ada tangis dalam lelahnya. Ada harap dalam diamnya. Kadang kita menginginkan anak menjadi seperti kita, padahal mereka ditakdirkan untuk hidup pada zaman yang berbeda.

Maka, sabar adalah bekal utama. Sebagaimana Nabi Yaqub bersabar terhadap kelakuan anak-anaknya, maka orang tua pun hendaknya bersabar dalam mendidik.

Buya Hamka menulis dalam “Tafsir Al-Azhar” bahwa anak bukan hanya pewaris harta, tetapi juga pewaris nilai dan akhlak. Maka, warisan utama yang harus ditanamkan adalah iman dan adab.

Bab 5: Menanamkan Nilai Sejak Dini

Pohon yang kuat, bermula dari benih yang baik. Maka sejak kecil, anak hendaknya ditanamkan nilai-nilai ketauhidan, kasih sayang, kejujuran, dan tanggung jawab.

Bukan hanya dengan kata, tetapi dengan contoh. Bila ingin anak mencintai Al-Qur’an, maka biarlah mereka melihat orang tuanya membaca. Bila ingin anak menghargai waktu, maka tunjukkan disiplin sejak kecil.

Orang tua jangan hanya menuntut anak berubah, tanpa mau ikut berubah. Sebab mendidik anak adalah juga proses memperbaiki diri.

Bab 6: Anak sebagai Cermin Doa dan Usaha

Seringkali kita menyalahkan anak yang nakal, padahal tak pernah sungguh-sungguh mendidik dan mendoakan. Padahal doa orang tua adalah senjata paling tajam dalam membentuk masa depan anak.

"Janganlah engkau mendoakan keburukan untuk anakmu, karena sesungguhnya doamu bisa dikabulkan." (HR. Muslim)

Doakan kebaikan untuk anak setiap hari. Jadikan nama anak sebagai bagian dari dzikir kita. Karena dari doa, tumbuh kekuatan yang tak kasat mata, namun nyata dampaknya.

Bab 7: Ketika Anak Telah Dewasa

Ada saatnya anak-anak tumbuh menjadi dewasa dan menjauh dari pelukan. Namun cinta orang tua tetap harus menjadi pelita. Jangan gengsi untuk memeluk, jangan kikir dalam nasihat, jangan lelah dalam mendoakan.

Sebagaimana Nabi Nuh tetap mendoakan anaknya meski tak sejalan. Maka seorang ayah dan ibu sejati tetap menjadi pelindung meski jarak terbentang.

Bab 8: Anak sebagai Jalan Menuju Surga

Rasulullah SAW bersabda:

"Apabila anak Adam mati, terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya." (HR. Muslim)

Anak adalah investasi akhirat. Maka jangan hanya pikirkan sekolahnya, pikirkan pula akhlaknya. Jangan hanya pikirkan prestasinya, pikirkan pula ketakwaannya.

Seorang anak yang saleh akan menjadi cahaya dalam gelapnya alam kubur, penolong di hari kiamat, dan pemberi syafaat di surga kelak.

Penutup: Cinta yang Terus Mengalir

Anak adalah amanah. Amanah dari Tuhan yang disematkan dalam pelukan cinta dua insan. Ia tak boleh dianggap beban, ia bukan pengganggu kebebasan. Ia adalah makhluk suci, titipan yang harus dijaga.

Sebagaimana matahari yang setia memberi cahaya, orang tua haruslah setia memberi cinta. Dan sebagaimana sungai yang terus mengalir, hendaknya kasih sayang pada anak tak pernah kering, meski musim terus berganti.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org