Peran Suami dalam Membina Sakinah

Peran Suami dalam Membina Sakinah

Pernikahan adalah amanah, dan dalam bahtera rumah tangga, suami bukan sekadar nakhoda yang mengarahkan laju kapal, tetapi juga imam yang membimbing jiwa. Ia memegang tanggung jawab besar, tidak hanya memberi nafkah duniawi, tetapi juga menghadirkan kedamaian rohani dalam rumah yang ia pimpin.

Buya Hamka pernah mengungkapkan bahwa:

“Menjadi suami bukan sekadar menjadi kepala rumah tangga, melainkan menjadi pemimpin yang penuh kasih, bijaksana dalam putusan, dan lembut dalam sikap.”

Sakinah tidak mungkin tumbuh jika pemimpinnya tak bijak. Maka di tangan suami-lah salah satu kunci sakinah itu dibentuk, disirami, dan dijaga agar tetap mekar sepanjang waktu.

Peran Suami dalam Membina Sakinah



1. Menjadi Pemimpin yang Adil dan Lembut

Seorang suami adalah pemimpin (qawwam) sebagaimana firman Allah dalam Surah An-Nisa ayat 34:

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...”

Namun kepemimpinan dalam Islam bukanlah kediktatoran. Ia tidak dibangun atas dasar ketakutan, tetapi kepercayaan dan kasih sayang. Seorang suami harus memimpin dengan adil, dengan kejujuran, dan dengan mendahulukan kebaikan bersama.

Ia tidak menganggap istri sebagai bawahan, tetapi sebagai teman sejati. Ia tak mengedepankan ego, tetapi musyawarah. Ia tak mengangkat suara ketika berbicara, tetapi menundukkan hati saat berdoa.


2. Menjadi Teladan dalam Akhlak dan Ibadah

Bagaimana bisa seorang suami menuntut istri untuk taat, jika ia sendiri enggan shalat berjamaah di rumah? Bagaimana bisa ia menginginkan anak yang jujur, jika ucapannya sering dusta?

Buya Hamka dalam banyak tulisannya menekankan bahwa teladan adalah pendidikan paling ampuh dalam rumah tangga. Suami harus menjadi figur yang memberi contoh—bukan hanya dalam kata, tetapi dalam laku.

  • Bangun lebih pagi untuk shalat tahajud.

  • Menyapa istri dengan senyum, walau penat belum reda.

  • Tidak enggan mencuci piring atau mengganti popok anak.

  • Mengucap maaf dan terima kasih, sekecil apapun halnya.

Suami yang memancarkan akhlak Rasulullah SAW akan membuat rumahnya dipenuhi berkah. Rasul tidak pernah memukul istrinya. Beliau membantu pekerjaan rumah, dan tetap romantis di usia senja. Cintanya bukan sekadar dalam puisi, tapi dalam perlakuan yang konsisten.


3. Menafkahi dengan Halal dan Penuh Keberkahan

Menafkahi istri dan anak bukan hanya kewajiban, tapi ladang pahala. Tapi lebih dari sekadar cukup, nafkah itu harus datang dari jalan yang halal.

Nafkah yang halal, walau sedikit, lebih sakinah daripada rezeki besar tapi dari jalan syubhat atau haram. Karena keberkahan tidak terletak pada jumlah, tetapi pada keridhaan Allah.

“Jangan kau suapi anak-anakmu dari sesuatu yang haram, karena darah daging mereka akan tumbuh menjadi musibah bagimu kelak,” tulis Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar.

Bekerjalah dengan ikhlas. Jangan merasa rendah karena penghasilan kecil, selama itu halal. Karena mungkin dari uang itulah Allah turunkan keberkahan yang membuat rumahmu tenang dan penuh rahmat.


4. Menjadi Pendengar dan Penenang

Suami sejati bukan hanya pemberi keputusan, tapi juga pendengar setia. Ia tidak merasa terganggu ketika istri ingin bercerita. Ia tidak marah ketika anak merengek. Ia paham, bahwa cinta bukan hanya dibuktikan dengan uang, tetapi dengan kehadiran dan perhatian.

Ketika istri letih, ia membantu. Ketika istri bingung, ia peluk dan beri solusi. Ia tahu, bahwa tangis seorang perempuan bukan kelemahan, tetapi tanda bahwa ia butuh didengar.

Sakinah tak akan datang jika suami hanya hadir secara fisik, tapi tidak dalam perasaan. Maka, belajarlah menjadi pendengar yang baik. Berikan ruang aman dalam rumah, agar istri dan anak merasa dicintai tanpa syarat.


5. Bersama-sama Menuju Surga

Cinta yang sejati bukan hanya ingin bahagia di dunia, tapi juga bertemu kembali di surga. Suami sakinah adalah yang menuntun istri dan anak-anaknya ke jalan yang lurus.

Ia mengajak bukan memaksa, membimbing bukan menghakimi. Ia mengajak istri mengaji, mengajak anak menghafal ayat-ayat Allah, dan menghadirkan majelis ilmu di tengah rumahnya.

Rumah yang sakinah adalah rumah yang membicarakan Allah setiap hari. Yang tak malu untuk saling mengingatkan shalat, yang menjadikan tawa sebagai ibadah, dan menjadikan sedih sebagai waktu untuk saling menguatkan.


Penutup Bagian Ini:

Menjadi suami sakinah bukan tentang menjadi sempurna. Tapi tentang terus belajar, terus memperbaiki diri, dan terus mencintai dalam diam maupun dalam ucap.

“Cinta suami yang tulus adalah saat ia berdoa malam-malam agar istrinya tenang, anak-anaknya sholeh, dan rumahnya tetap dijaga Allah dari guncangan dunia.”
— Buya Hamka

Karena itu, jangan malu belajar. Jangan lelah berbenah. Sebab keluarga sakinah adalah madrasah pertama bagi peradaban mulia.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org