Pilar Keluarga Sakinah: Mawaddah wa Rahmah
Pilar Keluarga Sakinah: Mawaddah wa Rahmah
Jika sakinah adalah rumah, maka mawaddah dan rahmah adalah tiangnya. Tanpa kedua tiang ini, rumah akan goyah, betapapun megah bangunannya. Allah tidak menciptakan rumah tangga hanya dengan logika, tapi dengan cinta dan kasih yang melampaui hitungan angka dan rumus dunia.
Mari kita hayati satu per satu.
1. Mawaddah: Cinta yang Tumbuh dari Iman
Mawaddah bukan cinta ala puisi remaja yang mudah terbang karena angin pujian. Ia bukan pula cinta karena rupa, karena bila cinta berdiri di atas kecantikan, maka akan roboh oleh usia. Tapi mawaddah adalah cinta yang ditanam karena Allah, tumbuh karena akhlak, dan berbuah karena iman.
Buya Hamka menulis:
“Cinta yang sejati adalah cinta yang berani menanggung derita. Cinta yang tidak memudarkan ibadah, melainkan menambah taqwa.”
Maka, suami yang memiliki mawaddah tidak hanya mencintai istrinya ketika cantik dan segar, tapi juga ketika keriput mulai menghias wajah. Dan istri yang memiliki mawaddah tidak hanya setia saat suaminya kuat dan berharta, tapi tetap memeluknya erat kala ia jatuh dan lemah.
Mawaddah adalah ketika:
-
Suami mencium kening istrinya bukan karena kewajiban, tapi karena rasa syukur.
-
Istri menyiapkan makanan bukan karena perintah, tapi karena cinta.
-
Keduanya saling mendoakan, bahkan dalam diam.
2. Rahmah: Kasih Sayang yang Menguatkan
Jika mawaddah adalah api cinta yang menyala, maka rahmah adalah air yang menyejukkan. Ia datang bukan saat segala sesuatu berjalan mulus, tapi justru saat ada luka, kekurangan, dan kelemahan.
Rahmah adalah kemampuan untuk memaafkan, meski hati sempat terluka. Ia adalah keputusan untuk tetap bertahan, bukan karena tidak punya pilihan, tapi karena cinta ini suci dan ingin dijaga hingga akhir.
Ketika suami jatuh dalam kesulitan, rahmah membuat istri menguatkan, bukan meninggalkan. Dan ketika istri kelelahan oleh beban rumah tangga, rahmah membuat suami turun tangan, bukan menuntut lebih.
Rahmah adalah:
-
Menutup aib pasangan, bukan menyebarkannya.
-
Mengusap air mata, bukan menambah luka.
-
Menjadi peneduh, bukan bara yang menyala.
Buya Hamka berkata:
“Rahmah adalah pengikat yang lebih kuat dari pada rantai. Ia tidak tampak, tapi mampu membendung pertengkaran, memadamkan api kemarahan, dan menumbuhkan pengertian.”
3. Antara Mawaddah dan Rahmah: Harmoni yang Terjaga
Dalam keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah saling melengkapi. Ketika cinta mulai redup oleh rutinitas, rahmah menjaga agar tak padam. Dan ketika cobaan datang, mawaddah mengingatkan bahwa semua ini layak diperjuangkan.
Rumah tangga yang hanya punya mawaddah tanpa rahmah, bisa berubah menjadi egoisme. Dan rumah yang hanya berisi rahmah tanpa mawaddah, akan terasa hambar dan kering. Keduanya mesti hidup bersama, seperti siang dan malam, seperti air dan api—tak serupa, tapi saling melengkapi.
4. Membangun Mawaddah wa Rahmah: Jalan Seumur Hidup
Mawaddah wa rahmah tidak datang sendiri. Ia harus dibangun, dijaga, dan dipupuk dengan:
-
Komunikasi yang lembut, bukan bentakan.
-
Kejujuran dan keterbukaan, bukan sandiwara.
-
Doa dan ibadah bersama, bukan hanya tawa dan canda.
-
Kesabaran dalam kekurangan, bukan tuntutan berlebihan.
Dalam keluarga sakinah, cinta bukan sekadar kata, tapi perbuatan. Bukan janji saat ijab kabul, tapi komitmen setiap hari untuk saling mencintai dan menyayangi di jalan Allah.
Buya Hamka menulis:
“Rumah tangga bukan sekadar tempat tidur dan makan. Ia adalah tempat dua hati bersatu demi tujuan mulia: mencari ridha Allah bersama.”
Penutup Bagian Ini:
Karena jika rumah dibangun atas dasar mawaddah wa rahmah, maka di sanalah surga kecil akan tumbuh. Bukan karena bebas dari ujian, tapi karena selalu ada cinta yang menguatkan, dan kasih yang memaafkan.
“Hati yang dipenuhi cinta karena Allah, akan menjadikan rumah sempit terasa lapang, dan hidup yang sederhana terasa mewah.”— Buya Hamka